Sabtu, 31 Desember 2011

Nyanyian dan Tangisan Para Filsuf Oleh Muhammad Yusuf Bima

Komentar untuk Forum Tanya Jawab 66: Tangisan dan Nyanyian Para Filsuf

Assalamu'alaikum Wr...Wb...

Filsuf hanyalah manusia biasa yang punya cipta, rasa dan karsa. Mereka saya pikir punya tujuan baik bagaimana orang lain bisa menikmati dunia ini seperti yang mereka rasakan, walaupun cara menikmatinya berbeda-beda. Mereka memiliki ide-ide yang briliant dalam rangka meramaikan episode perjalanan kehidupan manusia terlepas itu hal-hal yang biasa maupun hal-hal yang luar biasa, hal-hal yang bersifat identitas atau hal-hal yang bersifat kontradiksi. Mereka punya ambisi bahkan kitapun punya ambisis bagaimana menunjukkan eksistensi sebagai manusia yang pernah menghuni ruang dan waktu. Keberadaan akan dibuktikan oleh jejak tapak mereka berupa pikiran dan ide-ide yang kadang menggugah emosi dan nurani. Dalam perjalanannya pikiran-pikiran mereka yang diperkenalkan oleh orang-orang yang secara khusus mendalami pemikiran mereka menemui kendala, karena mungkin keterbatasan pemahaman orang yang membaca, atau mendengar karya-karya mereka itu. Seiring berubah ruang dan waktu, saat itu pula kadang penafsiran terhadap ide-ide mereka itu dibiaskan bahkan paling ekstrim ditolak karena mungkin dianggap tidak sesuai dengan jalan pikirannya. Dan itupun bagi para filsuf dianggap hal yang biasa karena apa yang dipikirkannya belum tentu sama dengan apa yang dipikirkan orang lain. Antitesi-antitesis pemikirannya dianggap sebagai produk filsafat juga. Yang paling dikhawatirkan oleh para filsuf sampai mereka harus meneteskan air mata adalah munculnya orang-orang yang berpikiran Reduksionist dan Determinis, hal ini dimungkinkan mereka memahami pemikiran-pemikiran para filsuf itu sepotong-sepotong, bahkan kurang ikhlas dalam mempelajari pemikiran-pemikiran mereka, bukannya malah menambah tahu malah menambah masalah. Dan itu tidak berhenti di situ, baru sedikit mengetahui pemikiran-pemikiran para filsuf itu sudah berlagak seolah-olah sudah mengetahui semua apa yang dipikirkan filsuf itu. Dan sungguh sangat tragis lagi menyampaikan pada orang lain seolah-olah yang dikatakan itu sumbernya dari filsuf yang dimaksud. Diibaratkan bagaimana beberapa orang buta yang dilepas di kandang gajah, lalu di suruh menceritakan ciri-ciri gajah, bisa dibayangkan oleh kita bagaimana mereka menceritakan gajah itu tidak secara utuh karena yang mereka jelaskan hanyalah dari apa yang mereka rasakan.
Ada sisi lain yang membuat para filsuf itu bisa sedikit lega hati, dengan mereka menyanyikan lagu-lagu yang menyentuh, betapa pikiran-pikiran mereka masih ada orang-orang yang mau memikirkannya lagi sehingga pikirannya akan terus menjadi bahan perbincangan baik oleh orang yang pro maupun kontra. Walaupun orang-orang itu menjadi Reduksionist dan Determinis, tapi mereka sudah dianggap sebagai orang yang memperbincangkan ide-ide para filsuf itu.
Para Filsuf telah melakukan sesuatu yang sepantasnya yang bisa mereka lakukan sebagai penghuni ruang dan waktu. Sekarang pertanyaannya apakah kita sudah mempersiapkan sesuatu sebagai bukti bahwa kita pernah berada pada ruang dan waktu itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar