Selasa, 13 Desember 2011

Elegi Pemberontakan Para Formal

Oleh Marsigit

Formal Dewasa Mandireng:
Blaaaaghh..dlalah...marah besar aku terhadap perilaku Normatif Dewasa Pertikel. Sudah keterlaluan uraiannya. Sudah tidak mau memenuhi kemauanku, masih ceramah ngalor-ngidul lagi. Wah saya harus bertindak. Aku akan menghimpun kekuatan untuk menghadapi kesewenang-wenangan Normatif Setengah Baya.

Formal Dewasa Mandireng Paralel:
Aku..aku setuju dengan apa yang engkau pikir Wahai Formal Dewasa Mandireng. Aku juga merasakan apa yang engkau rasakan. Maka aku mendukung rencana-rencanamu.

Formal Dewasa Parlogos:
Kalau aku ingin bersikap realistis. Kita ini kan sudah komitmen dan berjanji kepada diri kita masing-masing. Dan juga sudah teken kontrak. Bahwasanya kita bersedia bergaul dengan Normatif Setengah Baya. Maka kita ikuti saja skemanya dengan ikhlas, maka mudah-mudahan kita akan bisa mengambil manfaatnya dari semua kegiatan-kegiatan ini.

Formal Dewasa Parlogos Paralel:
Wahai Formal Dewasa Mandireng dan Formal Dewasa Mandireng Paralel, aku menolak keinginanmu. Selama ini aku selalu mengikuti gerak-gerikmu. Aku sangat tidak mengerti dengan sikapmu. Mengapa engkau mempunyai hati sekeras batu, mengapa engkau menutupi diri dari pengetahunmu, mengapa engkau cenderung berbuat anarkhis. Ingatlah bahwa disini yang berkepentingan bukan hanya dirimu saja, tetapi aku juga berkepentingan. Ketahuilah bahwa aku mempunyai program-program jangka panjang. Jika engkau terus-teruskan sikapmu yang demikian itu maka aku khawatir, aku juga akan terkena dampaknya. Maka dengan ini aku proklamirkan bahwa aku menentang semua rencana-rencanamu.

Formal Anak-anak Mandireng:
Aku protes terhadap perilaku Normatif Remaja Pertikel. Aku sudah setengah mati mempelajari dan mengikuti ternyata harapannya tidak sesuai dengan rencanaku. Eee..malah permintaannya bermacam-macam. Saya tidak suka dengan segala perilaku Normatif.

Formal Dewasa Mandireng:
Wahai para Formal Mandireng..marilah kita bersatu untuk menghadapi para Normatif Pertikel. Tetapi ketahuilah bahwa perjuangan kita sangat berat. Ketahuilah bahwa kita harus bisa berjuang kalau perlu melakukan pemberontakan bagaimana agar para Formal itu bisa menjadi Normatif, dan sebaliknya bagaimana agar para Normatif kita tangkap dan kita penjarakan sehingga mereka itu kita jadikan saja sebagai Formal atau kalau perlu sebagai Material. Untuk mewujudkan rencanaku itu, siapakah diantara kamu semua yang mempunyai ide atau gagasan?

Formal Dewasa Mandireng Paralel:
Ng...nggak...enggak ..aku enggak punya ide. Tetapi kita harus tetap maju.

Formal Anak-anak Mandireng:
Ng...nggak...enggak ..aku enggak punya ide. Tetapi kita harus tetap maju.

Formal Dewasa Parlogos:
Itu ide dan rencana gila. Tidaklah mungkin epistemologi mampu menjungkir-balikkan ontologi.

Formal Dewasa Parlogos Paralel:
Menurutku itu juga ide dan rencana gila. Tidaklah mungkin epistemologi mampu menjungkir-balikkan ontologi. Rencanamu itu seperti ingin menukar siang dan malam.

Formal Dewasa Mandireng:
Kalau begitu saya akan mengadakan sayembara. Barang siapa dapat membantu diriku menemukan cara bagaimana mengubah Formal menjadi Normatif dan sebaliknya maka akan saya beri “hadiah berupa bukan hadiah”.

Para Formal:
Wahai Formal Dewasa Mandireng, apakah sudah engkau pikirkan masak-masak ucapanmu itu. Bukankah ucapanmu itu bersifat kontradiktif. Seperti apakah yang engkau maksud dengan “hadiah berupa bukan hadiah”?

Formal Dewasa Mandireng:
Waha..haha..haha..inilah kesenanganku dan kesengajaanku. Kiranya aku tidak bisa menyamai Normatif. Bukankah kebingunganmu itu menunjukkan bahwa aku secara ontologis telah pantas diangkat sebagai Normatif?

Para Formal:
Tetapi ingatlah wahai Formal Dewasa Mandireng. Bahwa keinginanmu itu akan terwujud jika semua Formal yang lainnya mendukung. Padahal engkau mengetahui bahwa hanya sebagian kecil dari para Formal itu mendukungmu.

Formal Dewasa Mandireng:
Waha...haha..haha. Harus. Itu harus. Adalah kewajibanmu untuk mendukungku.

Para Formal:
Lho..kok mengharuskan. Wah kalau ini namanya memaksa.

Formal Dewasa Mandireng:
Kalau engkau menyadari maka aku menghormatimu. Kalau engkau belum mendengar maka dengarkanlah teriakanku. Kalau engkau tetap tidak mendukungku maka engkau semua akan aku paksa.

Para Formal:
Waaa.. ini namanya anarkhis. kalau sudah begini, bukan berbipir lagi kita. Ini namanya sudah perang.

Formal Dewasa Mandireng dan Para Formal:
Berperang...berperang...berperang...berperang...dar..dir..dor..der..dur.

Normatif Dewasa Pertikel:
Aku melihat pertempuran hebat di antara para Formal. Apa gerangan yang terjadi?

Normatif Anak-anak Pertikel:
Wahai Normatif Dewasa Pertikel. Sebetulnya yang menjadi pokok persoalan adalah dirimu dan juga diriku. Sebagian para formal, yang dipimpin oleh Formal Dewasa Mandireng menginginkan agar merekalah yang menjadi Normatif. Sedangkan kita para Normatif dikehendakinya untuk menjadi Formal saja. Maka bagaimanakah hal ini menurut dirimu itu?

Normatif Dewasa Pertikel:
Whus...aneh benar kejadiannya. Tidak adalah suatu teori berpikir di dunia ini yang dapat menjelaskan perihal kejadian ini, kecuali...

Normatif Anak-anak Pertikel:
Kecuali apa...

Normatif Dewasa Pertikel:
Hanya Normatif Tua Pertikel sajalah yang mampu menjelaskan dan memberi solusinya.

Normatif Tua Pertikel:
Wahai para Normatif, ketahuilah, bahwa ada saatnya manusia itu menghadapi suatu kejadian di mana banyak di antara mereka tidak mampu memikirkannya, karena memang bukan kapasitasnya. Untuk kejadian ini hanya dirikulah yang mempunyai senjata untuk menjelaskan dan memberikan solusinya.

Para Normatif:
Tolong wahai Normatif Tua Pertikel, segera uraikan caramu itu.

Normatif Tua Pertikel:
Yang kelihatannya tautologi pada suatu level, jika ditingkatkan dimensinya maka dia belum tentu tautologis. Yang kelihatannya kontradiksi, jika ditingkatkan dimensinya maka dia belum tentu kontradiksi. Mengapa? Karena permasalahannya bukan pada tautologi ataupun pada kontradiksi itu sendiri. Tetapi persoalannya pada mengapa sampai timbul tautologi dan kontradiksi, dan bagaimana implikasi yang ditimbulkannya.

Para Normatif:
Kami tidak paham.

Normatif Tua Pertikel:
Engkau tidak akan paham sampai aku betul-betul mengeluarkan senjataku itu.

Para Normatif:
Tolong segera keluarkan senjatamu itu?

Normatif Tua Pertikel:
Senjataku ada tiga macam. Pertama, kesadaran ruang dan waktu. Kedua, berpikir intensif dan ekstensif. Ketiga, menggapai logos. Dengan ketiga senjataku ini, maka aku akan bisa menangkap para Formal pemberontak.
Senjata pertamaku: Hai, kau tentu anak buah Formal Dewasa Mandireng, kenapa engkau tidak menepati ruang dan waktu yang engkau sanggupi. Maka sehebat-hebat dirimu, aku telah menagkapmu. Engkaulah si tidak sadar ruang dan waktu. Maka dengan senjataku ini jikalau engkau ikhlas maka engkau akan segera bisa menjadi Normatif. Bersiaplah.
Senjata keduaku: Hai, kau tentu anak buah Formal Dewasa Mandireng, kenapa engkau bersembunyi di balik kata-katamu. Sedalam engkau bersembunyi di situ maka aku bisa menangkap dirimu. Itulah engkau si tidak mau berpikir intensif dan ekstensif. Maka dengan senjataku ini jika engkau iklhas maka engkau segera bisa menjadi Normatif. Maka bersiaplah.
Senjata ketigaku: Hai, kau tentu anak buah Formal Dewasa Mandireng, kenapa engkau bersikeras mempertahankan pendirianmu? Padahal hati nuranimu mengatakan bahwa pikiranmu itu tidak sesuai dengan suratan takdirmu. Mengapa engkau sangat bangga dengan jargon-jargonmu. Bukankah engkau menyadari bahwa itu adalah perileku mitos-mitosmu. Maka dengan senjataku ini, jika engkau ikhlas maka engkau akan segera menjadi manusia menggapai logos. Dengan demikian engkau akan bisa segera menjadi Normatif. Maka bersiaplah.

Formal Dewasa Mandireng:
Waha..haha..haha..wahai Normatif Tua Pertikel. Kirain saya menyerah begitu saja. Lihatlah bahwa ketiga senjatamu yang engkau agung-agungkan itu, ternyata aku belum mau menyerah. Maka tunggulah balasanku ini.

Normatif Tua Pertikel:
Jika dengan ketiga senjataku itu ternyata aku belum mampu menaklukan dirimu. Maka engkau Formal Dewasa Mandireng, benar-benar bukan tandingan manusia. Engkau adalah jelmaan jin bertanduk tujuh. Engkau adalah syaetan yang pertama, tertua dan terbesar. Maka jika aku terpaksa harus bertempur melawanmu untuk yang terakhir kalinya, maka satu-satunya cara adalah aku harus menyatukan ketiga senjataku itu menjadi satu, dan mengarahkannya ke tengah dalam mulutmu sehingga engkau akan tertembus sampai belakang lehermu. Maka dengan doaku, engkau akan terpenggal lehermu dan terputuslah lehermu.

Formal Dewasa Mandireng:
Wahai Normatif Tua Pertikel, lihatlah diriku ini. Walaupun aku hanya tinggal kepalaku saja, maka aku masih bisa melawanmu.

Normatif Tua Pertikel:
Engkau memperlihatkan bahwa hanya dengan kepalamu saja engkau masih bisa mengamuk dan merusak. Maka senjataku saja tidak bisa mengalahkanmu kecuali aku harus minta bantuan gunung yang tinggi untuk bersedia melongsorkan sebagian lereng dan tebingnya sehingga kepalamu, Formal Dewasa Mandireng akan terbenam jauh di bawah dasar gunung. Itulah saat di mana semua bentuk angkara murkamu akan terhenti. Tiadalah manusia mampu mengalahkan jin bertanduk tujuh jika tiadalah bantuan dari Allah SWT. Amiin.

Para Normatif:
Terus..terus..bagaimana...di mana?

Normatif Tua Pertikel:
Wahai para Normatif. Janganlah engkau mengaku sebagai normatif, jika engkau tidak mampu melihatnya. Ketahuilah, begitu selesai aku bercerita, maka selesai pulalah pertempuran itu. Lihatlah maka kita melihat disana para Formal sudah kembali ke habitatnya masing-masing. Mereka telah menyadari bahwa mereka juga memerlukan para Normatif. Mereka juga telah menyadari bahwa mereka juga tidak serta merta bisa menihilkan keberadaan Normatif. Sesungguhnya yang terjadi adalah, agar para Formal bisa menjadi Normatif, maka semua Formal yang lain harus mendukungnya. Apakah arti dari kalimatku yang terakhir itu. Itulah sebenar-benar makna ontologis. Ontologis suatu hal tidaklah bisa dipaksakan, tetapi memaksa sendiri itu adalah ontologis. Maka renungkanlah?

Para Normatif:
Wahai Normatif Tua Pertikel..aku curiga dengan dirimu. Jika Engkau benar-benar Normatif seperti aku. Mengapa engkau mempunyai kemampuan melebihi diriku. Siapakah dirimu itu.

Normatif Tua Pertikel:
Aku tidak lain tidak bukan adalah si Orang Tua Berambut Putih. Itulah sebenar-benar diriku adalah pengetahuanmu. Maka gunakan akal dan pikiranmu untuk menggapai ilmumu dan untuk memecahkan urusan sehari-hari. Tetapi aku telah membuktikan bahwa akal saja tidaklah cukup. Akal bertemu dengan hati itulah setinggi-tinggi dimensi manusia. Tetapi itu juga belum cukup jika engkau belum menggapai Rakhmat dan Hidayah Nya.
Amiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar