Jumat, 30 Desember 2011

DIRIKU, MATEMATIKA, PENDIDIKAN, DAN FILSAFAT DALAM PERSPEKTIF RUANG DAN WAKTU

Oleh Muhammad Yusuf Bima

Diriku dibaratkan hanyalah sebutir debu yang menempel pada sepatu musafir dipadang pasir yang sangat luas, atau dibaratkan hanyalah setetes air laut yang menempel pada lidi yang dicelupkan pada air laut yang kemudian diangkat. Perumpamaaan itu masih bisa bisa dibantah oleh pikiranku yang lain yang mungkin ada yaitu mungkin lebih kecil dari itu, atau bisa dibantah oleh pikiranku yang lain mungkin sangat lebih kecil lagi. Begitulah seterusnya sampai akhirnya diriku hanyalah sesuatu yang benar-benar mendekati tidak ada atau lebih ekstrim dari itu, karena yang ada hanyalah yang Maha Ada yang ada dalam Wujud-Nya. Dialah yang menguasai alam jagat raya, yang mengatur alam semesta, yang mengurus setiap makhluk secara kontinu tanpa batas yang tidak bisa dijangkau oleh pikiran manusia secerdas apapun, Dialah yang Maha Mengatur, Dialah yang Maha Mengetahui yang ‘Ilmunya meliputi yang ada dan mungkin ada, bahkan yang sangat mungkin tidak ada, atau lebih ekstrim dari itu. Sebahagian Ilmu-Nya disampaikan lewat perantaraan Qalam yang diterjemahkan ke dalam bahasa manusia dengan wujud Kitab Suci (Zabur, Taurat, Injil, Al-Quran, kitab-kitab lain yang berwujud suhuf-suhuf), dan disampaikan lewat isyarat/tanda alam semesta yang hanya mampu diterjemahkan oleh manusia yang berakal dan mampu berpikir secara maksimal).
Yang Maha Ada yaitu Allah Azza Wajalla, memiliki sifat Qudrat (Maha Berkehendak) yang jikalau menginginkan sesuatu hanya dengan “kun fayakun” maka yang tadinya tidak ada atau mungkin tidak ada menjadi tidak ada. Tuhan meciptakan dunia sekaligus asesorisnya, aturan-aturannya, dan mengilhamkan ilmu untuk mengurus dunia ini, dan manusia ditugaskan sebagai “khalifah fil ardl”. Salah satu ilmu Tuhan yang menjadi bekal untuk melaksanakan tugas itu dan untuk menggapai keselamatan di dunia adalah ilmu yang dihimpun oleh manuisia yang akhirnya diberi nama “Matematika”.
Diakui atau tidak, bahwa matematika adalah ilham Tuhan pada manusia dan berharap bisa mencintainya dan menjadi bagian dari Diriku, bahkan betapa bahagianya dan merupakan suatu kehormatan manakala Matematika dan Diriku sebuah Identitas. Sungguh tidak bisa dibayangkan dua bagian kecil ilmu Tuhan “matematika dan diriku” berada dalam satu wadah dan sekaligus menjadi isinya. Wadah yang bukan sembarang wadah dan isi yang bukan sembarang isi. Wadah dalam arti seluas-luasnya sedalam-dalamnya dan isi yang berarti seluas-luasnya, sedalam dalamnya.
Untuk menggapai Ada bagi diriku dan matematika membutuhkan wadah, diantara wadah yang mungkin yang mampu memfasilitasi keberadaan Diriku dan Matematika adalah Pendidikan. Pendidikan adalah Wadah bagi Diriku dan Matematika untuk menunjukkan eksistensi apakah mungkin Diriku dan Matematika berlaku identitas atau malah sebaliknya bersifat kontradiksi atau bisa kedua-duanya bersifat identitas sekaligus kontradiksi. Jikalau Diriku dan Matematika bersifat identitas atau kontradiksi bahkan keduanya merupakan ISI dari WADAH yang bernama PENDIDIKAN itu, maka PENDIDIKANpun dapatlah merupakan ISI dari WADAH yaitu DIRIKU dan MATEMATIKA. WADAH (pendidikan) dapat menjadi ISI (Diriku dan Matematika), ISI (pendidikan) dapat menjadi WADAH (Diriku dan Matematika) , inilah akhir dari pengembaraanku dalam berFILSAFAT. FILSAFAT adalah salah satu dimensi yang harus dilewati sekaligus didiami dalam batas waktu yang tidak ditentukan. Filsafat haruslah bisa menjadi wadah bagi diriku, matematika, dan pendidikan. Jikalau bisa demikian akan memungkinkan diriku, matematika, dan pendidikan adalah wadah dari filsafat itu sendiri.
Akhir pengembaraan filsafatku, keharmonisan perilakuku, keharmonisan pikiranku, manakala bahasaku, manakala Diriku, Matematika, Pendidikan, dan Filsafat menyatu dalam WADAH sekaligus jadi ISI.
Ditulis oleh Muhammad Yusuf Bima (Mahasiswa PPs UNY Prodi Matematika Tahun 2011)
(Tulisan ini dibuat berdasarkan hasil murni renungan akhir tahun 2011, Sabtu 31 Desember 2011, Pkl. 03.00 – 04.00 di Rumah Kontrakan Sanggrahan Baciro Yogyakarta, Penulis terilhami dari Elegi-Elegi yang dibaca dari salah satu Karya Besar Dr. Marsigit sebagai Pengampu Mata Kuliah Filsafat Ilmu, Prodi Matematika PPs UNY Kelas A, Tahun 2011. Tulisan ini hanyalah sebuah refleksi filsafat bagi diri saya, karena saya adalah filsafatku maka tulisan ini tidak bisa dijadikan referensi filsafat bagi orang lain. Bapak Dr. Marsigit sebagai Dosen Pengampu Mata Kuliahku mohon kiranya bisa menyempurnakan tulisan ini karena diriku masih menghormati Bapak sebagai “Guru Pikiranku”, sekiranya berkenan agar kata-kata yang dimuat dalam tulisan di atas bisa memiliki nilai filsafat dengan Bapak memandu referensi yang bisa dijadikan rujukan, dan permohonan ma’af jika kurang memenuhi harapan Bapak dan atas penggunaan kata yang salah).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar