Sabtu, 26 November 2011

FILSAFAT DALAM PERSPEKTIF BAHASA Oleh Muhammad Yusuf Bima

Tulisan ini diberi judul “Filsafat dalam Perspektif Bahasa”. Adapun alasan yang membawa penulis mengajukan judul di atas dikarenakan bahasa merupakan cermin realitas dari aktifitas kehidupan manusia. Melalui bahasa kita dapat memahami substansi dari apa yang dikomunikasikan. Sebagai contoh: ketika seseorang mengatakan ‘saya lapar’ maka realitas dari ungkapan bahasa tersebut adalah bahwa dia lapar dan butuh makanan untuk tidak lapar. Interpretasi realitas ungkapan bahasa dalam kehidupan manusia sehari-hari tidak selalu memuat kebenaran yang absolut. Hal ini dapat dimengerti karena bahasa dapat dijadikan sebagai manipulasi dari apa yang dimaksudkan. Namun tidak dapat disangkal bahwa realitas ungkapan bahasa tidak pernah salah, kalaupun salah ada proposisinya. Untuk menyederhanakan kalimat ini lebih baik diilustrasikan dengan contoh di bawah ini:
Monyet memiliki mata
Manusia memiliki mata

Maka monyet dan manusia adalah sama karena masing-masing memiliki mata. Realitas ungkapan bahasa dari contoh di atas mutlak mengandung kebenaran, namun proposisi yang ditawarkan sebagai kesimpulan adalah salah. Dengan demikian interpretasi realitas ungkapan bahasa dalan kaitannya dengan konteks filsafat bahasa harus didasarkan pada kerangka pemikiran logis.
Ungkapan bahasa yang dimaksudkan dalam tulisan ini dibatasi dalam bentuk ungkapan sehari-hari baik itu merupakan pernyataan ataupun pepatah yang sering kita dengar. Maka dengan itu batasan dari permasalahan yang dikaji dalam tulisan ini adalah bagaimana interpretasi terhadap ungkapan bahasa dalam konteks filsafat bahasa dapat memperjelas dan mempermudah makna dari konsep filsafat itu sendiri. Dan apakah ada keterkaitan ungkapan bahasa dalam menentukan pola pikir pemakainya dalam kultural melalui pikiran atau unsur filsafati dalam setiap ungkapan yang dituturkan oleh penutur bahasa tersebut. Manusia tidak akan pernah lepas dari kegiatan berfilsafat dalam kehidupannya. Secara umum orang sering menafsirkan filsafat sebagai pernyataan yang teramat sulit dipahami karena memuat tentang kebijakan maupun konsep-konsep pemikiran yang berkaitan dengan semesta alam. Bahkan ada sinyelamen bahwa filsafat sering membingungkan dan menyesatkan sementara yang membuatnya tidak pernah merasa bingung bahkan tersesat oleh karenanya. Berbahasa sepertinya didapatkan secara alamiah sehingga tidak perlu mempelajarinya. Padahal pengertian ini hanya bagi kaum awam yang tidak memahami betapa kompleks dan kayanya khasanah bahasa dalam aktifitas kehidupan manusia sehari-hari. Sadar atau tidak sadar, bahasa atau ungkapan bahasa seseorang tetap memiliki makna atau realitas terhadap sesuatu yang dirujuknya.
Dalam percakapan sehari-hari mungkin kita sering mendengar dan tidak menyadari betapa dalamnya makna yang dikandung ungkapan tersebut. Sebagai contoh ketika A menyadari bahwa B memakai baju baru, maka A akan menyapa B dengan teguran ramah:
A: Kamu baju baru, ya?
B: (menjawab) Ah! Tidak, tetapi tersenyum.

Bila kita perhatikan esensi dari ungkapan di atas maka kita memperoleh gambaran pemikiran sesuatu yang kontras. Kata ‘tidak’ bukan berarti menidakkan karena ‘senyum’ merujuk kepada pengakuan bahwa B memang memakai baju baru. Realitas ungkapan bahasa di atas dikaitkan pada filsafat bahasa dalam arti akal budi atau pemikiran dapat ditafsirkan sebagai sesuatu yang kabur atau absurd. Hal ini bisa jadi berkaitan dengan nilai budaya ketimuran yang terkenal ramah dan berkesan tertutup. Dengan kata lain, sikap keterus terangan maupun ketransparanan ditutupi oleh kenaifan yang amat lugu namun memiliki kesan tidak mempunyai sikap keberanian untuk terbuka.
Masih ada lagi ungkapan bahasa dalam bentuk pepatah yang sangat mengandung nilai budaya yang tinggi bagi masyarakat Indonesia. Pepatah Tersebut sering dimaksudkan pada kondisi seseorang yang menghadapi pilihan yang teramat berat untuk membuat sesuatu keputusan. Pepatah tersebut adalah:
Bagaikan makan buah simalakama.
Dimakan mati ibu tidak dimakan mati bapak.

Dari sudut pandang filsafat, maka makna dari ungkapan bahasa di atas adalah terbenturnya suatu sikap mengambil kebijakan karena adanya dua pilihan yang beresiko. Dengan kata lain, tidak ada jalan keluar sebijak apapun kecuali penentuan sikap untuk menghadapi segala kemungkinan. Namun kenyataannya pepatah tersebut dewasa ini sering dipelesetkan dari esensi makna yang sebenarnya. Dikatakan bila seseorang dari suku Batak dihadapkan pada masalah tersebut, maka dia akan merasakan buahnya dulu tanpa menelannya. Artinya, bagi dia makan berbeda dengan mengkulum atau merasakan buah tersebut di dalam mulut. Berbeda dengan etnis Cina yang budayanya senang berdagang. Dia akan merasakan buah tersebut dengan mengulumnya ke dalam mulut dan kemudian menjualnya kepada orang lain. Tentu pelesetan seperti di atas tidak lagi identik dengan makna yang sebenarnya dari ungkapan bahasa tersebut. Dengan demikian peran filsafat bahasa yang menganalisis konsep filsafati melalui medium bahasa akan mempertegas makna yang sebenarnya yaitu pilihan yang teramat sulit untuk diputuskan. Pergeseran interpretasi ralitas ungkapan bahasa sering terjadi karena adanya perubahan tatanan nilai budaya di tengah-tengah masyarakat.
Sebagai contoh kita bisa membedakan persepsi generasi tua dengan generasi muda tentang ungkapan bahasa dalam bentuk pepatah di bawah ini:
Berakit-rakit ke hulu
Berenang-renang ke tepian
Bersakit-sakit dahulu
Bersenang-senang kemudian.

Generasi tua akan menginterpretasikan konteks filsafati ungkapan tersebut pada masanya yang memang serba sulit dan butuh perjuangan ekstra keras. Dengan demikian, kaum tua lebih menyederhanakannya dengan keyakinan bahwa hidup harus dihadapi dengan semangat baja di mana seseorang harus siap menderita untuk memperoleh keberhasilan. Hal ini memang merupakan realita yang dialami kaum generasi tua pada masanya untuk meraih keberhasilan hidup. Bagi kaum generasi muda yang menumpang di keberhasilan orang tuanya akan menginterpretasikan makna yang berbeda. Kaum Muda lebih menghubungkannya dengan situasi sekarang yang serba cepat untuk meperoleh kemenangan (siapa cepat dia menang). Kaum muda bahkan memberikan respon yang lebih radikal bahwa setelah sakit yang lebih dekat adalah kematian bukan kesenangan. Merujuk pada realitas ungkapan bahasa dalam konteks filsafat bahasa, ungkapan di atas perlu dicermati pada nuansa kulturalnya. Di dalam ungkapan tersebut pada bait pertama dan kedua merujuk pada usaha, sementara pada bait ketiga dan keempat merupakan kemungkinan hasilnya.

Sabtu, 12 November 2011

Elegi Pemberontakan Pendidikan Matematika 5: Peran Intuisi dalam Mathematical Research

Oleh Marsigit

Seperti apa tepatnya peran Intuisi dalam Riset Matematika? Thompson menggambarkan sebagai berikut:

"During all but a vanishingly small proportion of the time spent in investigative mathematics, we seem to be somewhere between having no evidence at all for our conclusions, and actually knowing them; second, that during this time, intuition often comes to the forefront, both as a source of conjecture, and of epistemic support; third, that our intuitive judgments in these situations are often biased, but in a predictable manner"

Elegi Pemberontakan Pendidikan Matematika 6: Apakah Matematika itu Ilmu?

Oleh Marsigit

Berikut masih sangat terkait dengan Intuisi. Pertanyaan yang sangat terkenal diajukan oleh Immanuel Kant (1781) "Apakah matematika itu ilmu?". Dia menguaraikan jawabannya dalam bukunya yang berjudul "Critic of Pure Reason".

Menurut Kant, matematika bisa menjadi Ilmu tetapi bisa tidak. Matematika akan menjadi Ilmu jika dia dibangun di atas INTUISI. Menurut Kant, hakekat Intuisi tidak lain tidak bukan adalah Ruang dan Waktu.Jadi Matematika akan menjadi Ilmu jika dibangun di dalam kerangka Ruang dan Waktu.

Oleh karena Matematika sebagai Ilmu harus dibangun di dalam Intuisi Ruang dan Waktu maka pada akhirnya Kant menyimpulkan bahwa "Matematika akan menjadi Ilmu jika dia bersifat SINTETIK A PRIORI".

Pure Logic dipandang baru sebagai A Priori saja dan belum Sintetik, karena Pure Logic memang bersifat Analitik.

Dengan demikian menurut Kant, Pure Logic belumlah merupakan Ilmu. Karena Pure Logic bukan sebagai Ilmu maka dia tidak memberikan informasi apapun kecuali tentang KONSISTENSI yang ada pada dirinya.

Demikian terimakasih.

Elegi Pemberontakan Pendidikan Matematika 4: Kompetensi Matematika juga Menghasilkan Mathematical Intuition

Oleh Marsigit

Sekalian saya sampaikan masih menurut Thompson, secara timbal balik maka kompetensi matematika ternyata juga menghasilkan mathematical intuition, seperti dikatakan berikut ini:

"With increasingly abstract material, it seems that the ability to reason formally, which requires the explicit formulation of ideas, together with the ability to show ideas to be logically derivable from other and more generally accepted ideas, are great assets in broadening the scope and range of the schemas which become second nature to us, and are instrumental in extending the familiar territory of our intuition"

Demikianlah maka sebetulnya masih banyak hal tentang before dan after the competences of mathematics yang dapat dipikirkan pada pembelajaran matematika di sekolah. Selamat berjuang guru matematika Indonesia. Semoga sukses. Amin.

Kamis, 10 November 2011

Elegi Pemberontakan Pendidikan Matematika 3: Budaya Matematika Menghasilkan Mathematical Intuition

Oleh Marsigit

Masih melanjutkan pentingnya membudayakan matematika.Thompson, P.,1993, mengatakan bahwa:

" if intuition in mathematics is properly characterized as a living growing element of our intellect, an intellectual versatility with our present concepts about abstract structures and the relations between these structures, we must recognize that its content is variable and subject to cultural forces in much the same way as any other cultural element. Even the symbols designed for the expression and development of mathematics have variable meanings, it must therefore remain an important strategy to aim to develop an increasingly versatile and expressive medium for the representation of familiar ideas"

Jadi intuisi matematika itu adalah subject to cultural forces (budaya bermatematika); dan intuisi matematika sangat penting untuk menghasilkan ide-ide/gagasan matematika. Pelajaran yang dapat kita ambil adalah bahwa membudayakan matematika itu merupakan tanggungjawab semua pihak, sekolah, guru, dan masyarakat (orang tua).


Referensi:
Thompson, P.,1993, The Nature And Role Of Intuition In Mathematical Epistemology, University College, Oxford University, U.K.

Elegi Pemberontakan Pendidikan Matematika 2: Intuisi dalam Matematika (2)

Oleh Marsigit

Thompson (1993) menyimpulkan bahwa intuisi matematika akan muncul setelah tahap olah pengalaman (experience) matematika. Bagi matematikawan, mathematical experiences adalah proses dan hasil-hasil riset matematika. Sedangkan bagi siswa sekolah mathematical experiences dibangun diatas akumulasi keterampilan matematika (mathematical skills) yang didukung oleh pengetahuan atau pemahaman matematika (mathematical content). Semuanya itu tidak mungkin tercapai jika tidak didukung oleh sikap dan metode matematika (mathematical attitude and method) dan sikap pendukung (supporting attitude) serta internal motivation (rasa senang dan matematika yang menyenangkan). Kenyataannya memang bahwa Ujian Nasional telah memberikan tekanan (pressure) kepada guru sehingga guru cenderung melakukan lompatan-lompatan di dalam mendampingi siswanya yaitu langsung kepada mengolah mathematical experiences dengan cara melakukan drill atau latihan soal-soal (jalan pintas). Dengan demikian dampak pedagogik dari UN adalah bahwa guru kurang mampu mengolah proses yang mendahului (prasarat) bagi diperolehnya mathematical experiences. Dengan kondisi pembelajaran matematika yang demikian akan menyebabkan para siswa menjadi miskin mathematical intuition. Padahal mathematical intuition ini sangat penting untuk mengembangkan kreativitas pada umumnya.
Oleh Marsigit

Saya nukilkan pendapat Thompson bagaimana peran intuisi dalam matematika berikut ini:

"Any satisfactory analysis of the role of intuition in mathematics should recognize it as a versatility in measuring up new situations, or even conjecturing them, using a rich repository of recurrent and strategically-important schema or conceptual structures, painstakingly abstracted from sensory experience by the intellect, constrained by the languages available to us at the time, and influenced by the accumulated resources of our cultural and scientific heritage: what intuition does not do is constitute an insight gained by reason, through some remarkable clairvoyant power that is an insight, which, for Gödel, seemingly paved the way towards a crystal-clear apocalyptic vision of mathematics, or, for Descartes, paved the way into the ultimate structure of the human mind"

References:
Thompson, P.,1993, The Nature And Role Of Intuition In Mathematical Epistemology, University College, Oxford University, U.K,

Senin, 07 November 2011

Elegi Silaturahim Matematika

Oleh: Marsigit

Matematika1:
Aku adalah matematika. Matematika ya matematika. Aku bukanlah ilmu alam. Tetapi sebetul-betulnya aku adalah ilmu tentang bicara. Guruku adalah Thales.

Matematika2:
Au adalah matematika. Jika aku geometri maka aku bukanlah bilangan. ku ada di dalam pikiranmu. Sesungguhnya sifatku itu abstrak. Yang konkrit itu hanyalah contohku. Aku telah ada secara lengkap dalam pikiranmu. Jika engkau tidak bisa menemukanku, itu hanyalah kekurang pahamanmu. Guruku adalah Plato.

Matematika3:
Aku adalah matematika. Aku adalah ilmu yang koheren. Bilanganku dapat mengatur alam. Tetapi sulit dibedakan atara aku dengan ilmu alam. Tetapi hidupku memang memerlukan bukti. Bagiku ruang adalah diskret. Dalil Pythagoras adalah diriku yang paling terkenal. Bisa saja orang-orang mengagumiku. Tetapi dalam diriku terdapat incommensurability. Guruku adalah Pythagoras.

Matematika4:
Aku adalah logika pertama. Aku tersusun atas proposisi-proposisi. Jiwaku adalah silogisma. Di dalam diriku terdapat infinite regress. Aku bersifat apodiktic. Postulat dan aksioma adalah landasanku. Guruku adalah Aistoteles.

Matematika5:
Aku adalah matematika. Aku bersifat aksiomatik. Yang utama dari diriku adalah geometri. Metodeku adalah deduksi. Postulat ke 5 adalah yang paling terkenal. Guruku adalah Euclides.

Matematika6:
Aku adalah matematika. Aku bersifat empiris. Aku adalah persoalan konkrit sehar-hari. Bagiku logika tidak meberikan informasi apapun. Guruku adalah Bacon, Locke, Berkely dan Hume.

Matematika7:
Aku adalah matematika. Diriku yang utama adalah geometri. Aku berada di dalam pikiranmu. Aku beranat dari keragu-raguanmu. Aku bersifat deduktif. Guruku adalag Rene Descartes.

Matematika8:
Aku adalah matematika. Aku bersifat sintetik a priori. Aku berada dalam intuisimu. Ituisimu adalah ruang dan waktumu. Keputusanmu adalah diriku yang tertinggi. Guruku adalah Immanuel Kant.

Matematika9:
Aku adalah matematika. Sebenarnya diriku adalah logika. Logika itulah matematika. Kalkulus pernyataan adalah contohku. Guruku adalah Leibniz, Frege dan Russell.

Matematika10:
Aku adalah matematika. Intuisimu adalah metodeku. Aku lebih mementingkan membangun dari sekedar diberikan. Guruku adalah Brouwer.

Matematika11:
Aku adalah matematika. Aku adalah pengamatanmu. Maka aku adalah kekeliruanmu. Guruku adalah Lakatos.

Matematika12:
Aku adalah matematika. Aku lebih mementingkan sistem. Aku adalah konsistensimu. Aku bersifat rigor. Sistemku benar-benar tunggal. Aku memerlukan dasar yang kokoh. Konsistensi adalah nyawaku. Orang biasa menyebut diriku sebagai formalisme. Guruku adalah Hilbert.

Matematika13:
Aku adalah matematika. Tetapi wujudku adalah bahasa. Walaupun aku itu empiris. tetapi aku tetap logika. Guruku adalah Wittgenstein.

Matematika14:
Aku adalah matematika. Matematika ya matematika. Aku tidak dipengaruhi oleh benda-benda kongkrit.
Kebenaranku terbebas dari nilai-nilai. Orang sering menyebut diriku sebagai absolutisme.

Matematika15:
Aku adalah matematika. Jika aku lengkap maka aku tidaklah konsisten. Tetapi jika aku konsisten, maka aku tidaklah lengkap. Guruku adalag Godel.

Matematika16:
Aku adalah matematika. Konstructivis adalah jiwaku. Guruku adalah Aristoteles, Piaget, dan Paul Ernest


Matematika17:Aku adalah matematika. Diriku yang utama adalah pola-pola dan relasi. Guruku adalah Ebutt dan Strakker.

Matematika18:
Aku adalah matematika. Diriku tiada lain adalah komunikasi. Tiadalah diriku yang tidak dapat dikomunikasikan. Guruku adalah Ebutt dan Strakker.

Matematika19:
Aku adalah matematika. Diriku adalah investigasi. Kegiatan penelitian itu adalah diriku. Guruku adalah Ebutt dan Strakker.

Matematika20:
Aku adalah matematika. Diriku bisa obyektif dan bisa subyektif. Diriku obyektif jika berada di luar dirimu. Diriku subyektif jika berada di dalam dirimu. Diperlukan pergaulan agar engkau mengetahui aku yang subyektif dan obyektif. Guruku adalah Paul Ernest.

Matematika21:
Aku adalah matematika. Bidangku tidaklah datar. Bidangku adalah kurva-kurva lengkung. Jumlah besar sudut pada segitigaku tidaklah sama dengan seratus delapan puluh derajat. Guruku bukanlah Euclides. Guruku adalah Lobachevski

Tunggal:
Aku adalah matematika. Aku bersifat tunggal. Landasanku bersifat kokoh. tetapi kebanyakan orang meyebut aku sebagai mitos.

Universal:
Aku adalah matematika. Aku bersifat universal. Tetapi kebanyakan orang juga mengatakan bahwa aku adalah mitos.

Pasti:
Aku adalah matematika. Aku menjamin kepastianku. Tetapi dengan demikian, aku juga dikatakan sebagai mitos.

Obyektif:
Aku adalah matematika. Aku menjamin obyektivitas. Tetapi dengan demikian, aku juga dikatakan sebagai mitos.

Minggu, 06 November 2011

Elegi Pengembaraan Orang Tua Berambut Putih

Oleh Marsigit

Kini aku merasa sudah saatnya aku mengembara. Supaya pengembaraanku bermakna, maka aku akan bertanya kepada para saksi. Tetapi sebelum aku bertanya kepada saksi-saksi terlebih aku ingin sampaikan bahwa sebenar-benar sebenar-benar saksi tidak lain tidak bukan adalah aku sendiri. Aku ingin mengaku bahwa aku mengetahui segala sesuatu, tetapi jika mereka bertanya kepadaku maka dengan serta merta aku tidak mengetahuinya. Mengapa? Karena sebenar-benar diriku adalah pertanyaan mereka. Bagaimana mungkin aku mengerti tentang pertanyaanku sendiri? Maka sebodoh-bodoh orang adalah diriku ini, karena aku selalu bertanya tentang segala hal, tetapi aku selalu tidak dapat menjelaskannya. Tetapi bukankah mengerti bahwa aku tidak dapat menjawab itu pertanda bahwa tidak tidak mengerti. Maka dapat aku katakan bahwa sebenar-benar diriku adalah tidak tidak mengerti. Hendaknya jangan terkejut bahwa tidak tidak mengerti itu sebenarnya adalah mengerti pula. Maka bukanlah aku yang ingin mengatakan, tetapi mereka yang boleh mengatakan bahwa aku selalu mengerti tentang pertanyaanku itu. Bukankah di sini mereka tahu bahwa sebenar-benar diriku adalah kontradiksi, karena aku sekaligus mengerti dan tidak mengerti. Itulah sebenar-benar ilmu, yaitu kontradiktif. Tetapi janganlah salah paham, kontradiksi itu adalah ilmu, tempat tinggalnya ada dalam pikiranmu.

Orang tua berambut putih berjumpa Socrates, Plato, Aristoteles, George Berkely, Rene Descartes, dan Immanuel Kant.
Wahai Socrates, Plato, Aristoteles, Rene Descartes, David Hume dan Immanuel Kant, ..., bolehka aku bertanya kepadamu. Menurut kesaksianmu, siapakah sebenar-benar dirimu dan sebenar-benar diriku?

Socrates:
Wahai orang tua berambut putih. Sebenar-benar diriku adalah pertanyaanku. Maka aku akan bertanya kepada siapapun tentang segala hal yang aku sukai. Sedangkan sebenar-benar dirimu adalah diriku juga. Maka sebenar-benar dirimu tidak lain adalah pertanyaanku juga pertanyaanmu. Jawaban para pakar dan para ahli itulah sebenar-benar tempat tinggalmu. Itulah sebenar-benar ilmu yaitu pertanyaanmu.

Plato:
Sebenar-benar dirimu adalah pikiranku. Sebenar-benar dirimu adalah imajinasiku. Tidak aku panggil, engkau sudah ada dalam pikiranku. Maka dirimu yang absolut itulah yang selalu aku pikirkan. Semuanya tentang dirimu sudah ada dalam pikiranku. Hanya terkadang aku sulit mengenalimu. Tetapi aku sadar, bahwa banyak orang mencoba mirip-mirip dengan mu. Itulah mereka yang dapat aku lihat dan dapat aku raba. Mereka jumlahnya sangat banyak. Tetapi mereka semuanya bersifat sementara. Maka sebenar-benar dirimu adalah ide-ide ku. Tempat tinggalmu ada dalam pikiranku. Tetapi aku selalu mengkhawatirkanmu, karena dalam pikiranku selalu ada lubang gelap seperti gua. Gua-gua seperti itulah yang menyebabkan aku sulit mengenalmu. Aku juga mengkhawatirkan akan badanku, karena badanku inilah penyebab munculnya gua-gua itu. Maka sebenar-benar dirimu adalah hamba yang terlepas dari penjara badanku. Maka sebenar-benar dirimu adalah pikiranku yang berada di luar gua kegelapanku dan terbebas dari badanku. Itulah sebenar-benar ilmu, tidak lain tidak bukan adalah pikiranku. Tetapi aku mengalami kesulitan untuk menjelaskan kepada orang-orang tentang tempat tinggalmu itu.

Aristoteles:
Aku agak berbeda dengan guruku Plato. Menurutku, sebenar-benar dirimu adalah adalah pengalamanku. Maka tempat tinggalmu adalah pada pengalamanku. Begitu aku menggapai pengalamanku maka dengan serta merta muncullah dirimu itu. Maka menurutku, sebenar-benar dirimu adalah yang dapat aku lihat, aku raba, dan aku indera. Maka sebenar-benar dirimu adalah diluar diriku. Padahal aku tahu bahwa dirimu adalah diriku. Maka aku tidak lain tidak bukan adalah sekaligus bukan aku. Mengapa? Karena aku mengalami kesulitan memahami engkau yang berada diluar diriku. Dan juga mengalami kesulitan bagaimana aku dapat menjelaskan kepada orang-orang bahwa engkau yang berada di luar diriku itu sebenar-benarnya adalah diriku.

George Berkely:
Menurutku, engkau adalah yang aku lihat atau aku persepsi. Jikalau engkau tidak adalah di situ, maka tidak adalah sebenar-benarnya engkau itu. Esse est percipi itulah kata-kataku. Maka sebenar-benar engkau adalah tipuanmu belaka. Engkau adalah fatamorgana. Maka sebenar-benar engkau yang adapat aku lihat adalah tipuan juga. Jadi apalah artnya sesuatu yang dapat engkau lihat itu, kecuali hanya tipuan belaka. Maka dunia ini tidak lain tidak bukan adalah tipuan belaka. Itulah sebenar-benar dirimu itu. Padahal aku tahu bahwa dirimu adalah diriku juga, maka sebenar-benar ilmu itu tidak lain tidak bukan adalah tipuan butamu.

Rene Descartes:
Menurutku, sebenar-benar dirimu adalah mimpiku. Tiadalah aku dapat menemukanmu tanpa mimpi-mimpi itu. Bagiku mimpi adalah nyata. Dan yang nyata bisa juga menjadi mimpiku. Maka sebenar-benar diriku adalah tidak dapat membedakan apakah kenyataan atau mimpiku. Namun aku selalu risau karena jika aku ingin berjumpa denganmu aku selalu dihadang makhluk hitam yang akan menyesatkanku, sehingga aku selalu salah mengertimu. Maka selalulah terjadi bahwa aku selalu meragukan keberadaanmu. Maka sebenar-benar dirimu adalah keraguanku itu sendiri. Itulah sebenar-benar ilmu, yaitu keraguanmu. Aku meragukan semuanya tanpa kecuali. Hanyalah ada satu yang tidak dapat aku ragukan yaitu diriku sendiri yang meragukan itu. Itulah satu-satunya kepastian bagiku. Cogito ergosum itulah kata-kataku, yaitu bahwa diriku itu ada karena aku tahu sedang meragukannya. Bukankah itu sebenar-benar dirimu. Maka sebenar-benar keberadaanku adalah diriku yang berpikir ini.

Immanuel Kant:
Menurutku engkau adalah pikiranku sekaligus pengalamanku. Tiadalah dirimu itu ada di situ tanpa pikiranku atau tanpa pengalamanku. Sedangkan tempat tinggalmu adalah di dalam intuisiku. Ketahuilah bahwa aku mempunyai dua intuisi yaitu intuisi ruang dan intuisi waktu. Itulah sebenar-benar tempat tinggalmu. Tetapi untuk mengerti tentang dirimu aku harus bersifat kritis. Maka sebanar-benar dirimu adalah pikiranku yang kritis. Itulah sebenar-benar ilmu, tidak lain tidak bukan adalah pikiran kritismu. Namun ketahui pula bahwa tidaklah mudah menggapai dirimu. Ketika engkau kukejar dengan pikiran kritisku, maka engkau lari menuju keputusanmu. Itulah setinggi-tinggi tempat tinggalmu, yaitu pada keputusanku. Maka sebenar-benar ilmu tidak lain tidak bukan adalah keputusanmu.

Orang tua berambut putih tidak puas dengan jawaban Socrates, Plato, Aristoteles, George Berkely, Rene Descartes, dan Immanuel Kant.
Ah, ngacau semua mereka itu. Jawaban mereka sesuai selera masing-masing. Maka belum puaslah diriku alan jawaban mereka semua. Tetapi aku sadar bahwa aku sedang berada pada jaman jauh sebelum diriku sekarang. Padahal aku belum sempat bertanya kepada orang sekarang yang berseliweran didepanku. Maka aku berjanji akan meneruskan perjalananku untuk bertanya siapa sebenarnya diriku itu?

Orang tua berambut putih bertemu Hegel, Brouwer, Russell, Wittgenstein, Hilbert, Godel, Husserll, Einstein, Lakatos dan Ernest
Wahai Hegel, Brouwer, Russell, Wittgenstein, Hilbert, Godel, Husserll, Einstein, Lakatos dan Ernest, ..bolehkah aku bertanya kepadamu. Menurut kesaksianmu, siapakah sebenar-benar dirimu dan sebenar-benar diriku itu?

Hegel:
Sebenar-benar dirimu adalah riwayatku. Padahal hidupku telah melampuai masa laluku, dan sedang mengalami waktu kiniku dan bersiap-siap untuk menempuh masa depanku. Itulah sebenar-benar dirimu, adalah sejarah bagimu. Maka akupun tidak lain tidak bukan adalah sejarah itu sendiri. Jadi sebenar-benar ilmu adalah sejarah dirimu. Hidupmu adalah sejarah diriku. Diriku adalah sejarah dunia ini. Maka sebenar-benar dunia adalah mensejarah. Ketahuilah bahwa tiadalah ada di dunia ini beserta wadah dan isinya yang tidak mensejarah. Make tersesatlah wahai orang-orang yang melupakan akan sejarahnya.

Brouwer:
Sebenar-benar dirimu adalah intuisiku. Namun hendaknya engkau ketahui bahwa intuisiku bersifat ganda. Maksudnya adalah jika aku memikirkanmu yang satu maka aku masih dapat mengingat engkau yang lain. Demikianlah seterusnya. Itulah sebenar-benar ilmuku. Yaitu intuisiku yang bersifat ganda.

Russell:
Sebenar-benar dirimu adalah logikaku. Hukum sebab-akibat dalam koherensi itulah sebenar-benar dirimu itu. Dirimu adalah konsistensi logikaku. Dirimu adalah kepastian pikiranku. Dirimu adalah kejelasan pikiranku. Maka sebenar-benar dirimu adalah premis-premis dan kesimpulan yang bersifat rigor. Tiadalah ada dirimu di situ jikalau engkau menyalahi hukum-hukumnya. Tetapi ternyata aku mempunyai musuh yang maha besar yang siap menerkam diriku. Yaitu ketika aku tidak bisa menjawab apakah engkau yang tidak sama dengan engkau itu termasuk anggota dari kumpulan engkau.

Wittgenstein:
Sebenar-benar dirimu adalah kata-kataku. Maka sebenar-benar ilmu itu adalah kata-kata. Kata-kata dan bahasa itulah rumahku. Maka engkau yang besar dapat aku lihat sebagai kumpulan engkau yang kecil-kecil. Engkau yang besar adalah gabungan engkau yang kecil-kecil. Demikianlah sifat kata-kata dan kalimat-kalimat dalam bahasa. Maka barang siapa tidak dapat mengucapkan kata-katanya, maka dia terncam kehilangan ilmunya.

Hilbert:
Sebenar-benar dirimu adalah sistimku. Sebenar-benar dirimu adalah formalitasku. Maka sistimku yang tersusun secara formal itulah sebenar-benar engkau. Itulah engkau yang mampu menaungi semuanya tanpa kecuali. Engkau yang satu adalah tujuanku. Maka tiadalah ilmu yang lain kecuali engkau yang satu itu. Engkau yang satu itulah konsistensi dan kelengkapanmu. Maka sebenar-benar ilmu adalah satu, konsisten dan lengkap. Tetapi aku bermimpi akan ada seseorang muridku yang membalikkan pikiranku ini. Tetapi entahlah.

Godel:
Sebenar-benar dirimu adalah pilihanmu. Engkau tingal memilih salah satu. Jika engkau memilih konsisten, maka tidak akan lengkapkah engkau itu. Jika engkau memilih kelengkapan, maka tidak akanlah engkau itu konsisten. Untuk itu aku berani mempertaruhkan segalanya di depan guruku Hilbert bahwa pernyataanku itu memang benar demikianlah.

Husserll:
Sebenar benar dirimu adalah hanya sebagian dari diriku. Engkau tidak akan mengerti akan dirimu jika engkau berusaha menggapai semuanya. Maka sebenar-benar ilmu adalah phenonemologi, yaitu sebagian darimu yang aku sembunyikan yang lainnya di dalam rumah epoche. Jika aku berpikir tentang satu maka aku singkirkan yang lainnya. Aku bersihkan pikiranku dari memikirkan yang lainnya. Jika aku memikirkan engkau sebagai kubus matematika, maka aku singkirkan semua sifat-sifat yang tidak aku kehendaki. Bukankah ketika aku memikirkan kubus matematika aku tidak perlu memikirkan aroma, aku tidak perlu memikirkan harga jual, aku tidak perlu memikirkan keindahan. Itu semua aku simpan dalam rumah epoche. Sedang yang aku pikirkan hanyalah ukuran dan bentuk dari kubus itu. Itulah sebenar-benar ilmu, yaitu satu atau beberapa sifat dari dirimu yang aku pilih untuk aku pikirkan.

Einstein:
Sebenar-benar dirimu adalah ketidak pastianmu. Tetapi hendahlah engkau ingat bahwa ketidak pastianmu itulah sebenar-benar kepastian. Maka relativisme itulah kata-kataku. Aku tidak pernah pasti dapat menentukan dirimu. Namun, itu juga kepastianku. Aku memastikan bahwa aku dalam keadaan berhenti ketika aku bersama-sama berjalan denganmu. Tetapi aku juga dapat memastikan bahwa aku dalam keadaan berjalan ketika aku bersama-sama berhenti dengan mu. Ketinggianmu adalah sekaligus tempat paling rendahmu, demikian sebaliknya. Kecepatan dan masa itulah kunci untuk mengetahui tempat tinggalku. Maka e=mc2 itulah sebenar-benar diriku. Maka sesungguh-sungguhnya ilmu adalah relativitasmu.

Lakatos:
Sebenar-benar dirimu adalah kesalahanku. Ketahuilah bahwa tiada benar tanpa mengerti kesalahan. Maka sebenar-benar ilmu adalah kesalahan itu sendiri. Maka fallibism itulah kata-kataku. Maka jika engkau ingin menggapai benar, maka tidaklah engkau bisa terhindar dari kesalahan. Ketahuilah bahwa menghindari yang salah bukan satu-satunya jalan menuju yang benar. Sedangkan menggapai yang benar tidak berarti menghindari yang salah. Maka sebenar-benar dirimu adalah kesalahanku itu. Maka sebenar-benar tempat tinggalmu adalah di antara yang benar dan salah.

Ernest:
Sebenar-benar dirimu adalah pergaulanmu. Maka tiadalah dirimu itu tanpa pergaulanmu. Itulah sebenar-benar ilmu, yaitu pergaulan itu sendiri. Maka selalu bergaullah antar sesamamu agar engkau memperoleh ilmumu. Itulah sebenar-benar ilmu, yaitu perolehanmu dalam pergaulanmu. Maka socio-constructivist adalah kata-kataku. Yaitu bahwa ilmumu kamu peroleh melalui pergaulanmu.

Orang tua berambut putih ternyata belum puas dengan jawaban Hegel, Brouwer, Russell, Wittgenstein, Hilbert, Godel, Husserll, Lakatos dan Ernest
Ah, ngacau semua mereka itu. Jawaban mereka sesuai selera masing-masing. Maka belum puaslah diriku akan jawaban mereka semua. Tetapi aku sadar bahwa aku sedang berada perjalananku. Tetapi aku ragu apakah aku mampu memikirkan masa depanku?

Orang tua berambut putih bertemu dengan Teleologi
Wahai seseorang, siapakah dirimu itu. Rasa-rasanya aku pernah melihatmu, tetapi tidaklah begitu jelas. Rasa-rasanya aku pernah pergi bersamamu tetapi aku lupa kemana ketika itu. Rasa-rasanya aku pernah berdiskusi denganmu, tetapi aku lupa tentang apa yang kita diskusikan ketika itu.

Teleologi:
Kenalkanlah namaku adalah teleologi. Aku adalah adalah seorang pembantu. Engkau ingatlah seseorang yang bernama Immanuel Kant. Itulah sebenar-benar tuanku. Aku disuruh oleh Immanuel Kant untuk menemuimu. Mengapa? Karena Immanuel Kant mendengar pertanyaan dan kegelisahan dirimu tentang masa depanmu.

Orang tua berambut putih:
Menurut pengetahuanku, Immanuel Kant mempunyai banyak sekali pembantu. Maka tolong jelaskanlah engkau siapa sebenarnya.

Teleologi:
Aku adalah masa depan. Aku berangkat dari masa lampau. Aku adalah semuanya dalam dimensi ruang dan waktu.

Orang tua berambut putih:
Aku tidak jelas penjelasanmu itu. Tolong bicara yang agak rinci.

Teleologi:
Tiadalah sesuatu itu tidak berasal dari sesuatu yang lain. Tiadalah pula sesuatu itu tidak menjadi sesuatu yang lain. Benda sebesar bumi ini akan menjadi sebuah titik jika engkau melihatnya dari kejauhan. Maka sebaliknya, tidaklah engkau dapat menduga bahwa sebuah titik pun bisa menjadi bumi pada masa depannya. Garis sepanjang ini akan menjadi titik jika engkau melihatnya dari kejauhan. Maka sebaliknya, tidaklah engkau dapat menduga bahwa sebuah titik pun bisa menjadi garis pada masa depannya. Berdasarkan analogi tersebut maka aku mengkhawatirkanmu bahwa di masa depanmu engkau akan bisa berbentuk apa saja. Engkau bisa saja terbang seperti seekor burung jika seribu, sejuta, semilyard keturunanmu selalu menginginkan terbang dan beratih untuk terbang. Itulah sebenar-benar diriku. Itu pulalah sebenar-benar ilmuku dan juga ilmumu. Jadi sebenar-benar ilmu adalah diriku, yaitu teleologi.

Elegi Ritual Ikhlas IV: Memandang Wajah Rasulullah

Oleh Marsigit

Hari ke 1:
Marsigit
Elegi ini baru dalam rencana. Walaupun baru dalam rencana tetapi si penulis telah merasa bergetar hati dan seluruh tubuhnya. Air matapun tak kuasa aku bendung. Penulis belum tahu apakah mampu menuliskannya atau tidak. Jika terpaksa tidak mampu menuliskannya maka elegi ini pun urung dibuatnya. Demikian sekedar info..........

Hari ke 2:
Marsigit
Sampai hari ke 2 aku pun tak mampu memikirkan bagaimana aku menuliskan tentang bagaimana keadaannya aku ingin, atau aku merasakan atau aku bisa memandang Wajahmu ya Rasulullah. Aku mengalami perasaan bercampur antara merasa ingin dan ingin merasa memandang Wajah mu ra Rasulullah. Hingga pada hari ke 2 ini, aku pun menemukan bahwa aku tidaklah sendirian. Keadaan dan perasaan yang sama juga dialami oleh murid-muridku. Murid-muridku yang telah membaca persaaanku yang aku tuangkan pada hari pertama juga mengalami perasaan yang sama tentang hal ini. Ungkapan murid-muridku melalui komen-komen mereka semakin menambah derasnya air mataku. Terlebih mereka juga ada yang menyarankan agar aku berdoa agar aku bisa menulis Elegi ini.

Kenapa ya Allah, sekedar baru mempunyai keinginan memandang wajah Rasulullah saja hatiku sudah bergetar, tubuhku semain bergetaran, pikiranku terasa membeku, dan air mataku semakin deras mengalir. Ya Allah, ampunilah segala dosa-dosaku atas kelancangan keinginan dan pikiranku. Mohon ampun pula atas Elegi-elegi yang aku tulis. Aku bersaksi bahwa Elegi-elegi ini bukanlah segala-galanya bagiku. Ini hanyalah sarana merefleksikan diriku dan semata-mata untuk diriku. Jika ternyata bermanfaat juga bagi murid-muridku maka saya hanya berusaha bersyukur serta berusaha tawakal kepada-MU ya Allah. Hindarkanlah dari kesombongan diriku dan juga riya atas Elegi-elegiku itu ya Allah.

Sebenar-benar diriku hanyalah berserah diri kepada-Mu ya Allah. Jika engkau perkenankan aku memandang wajah Rasulullah, maka itu semata-mata adalah karunia yang Engkau limpahkan kepada diriku ya Allah. Ya Allah aku mohon perlindungan dari segala macam goda syaitan. Ya Allah tunjukilah diriku di atas jalan yang engkau ridai. Tuntunlah langkahku sehingga setiap langkahku adalah karena diri-Mu ya Allah. Tuntunlah pikiranku sehingga setiap pikiranku itu adalah karena Engkau ya Allah. Tuntunlah tulisanku sehingga setiap tulisanku itu adalah karena Engkau ya Allah. Tuntunlah kata-kata ku sehingga setiap kata-kataku itu adalah karena Engkau ya Allah. Tuntunlah penglihatanku sehingga setiap penglihatanku itu adalah karena Engkau ya Allah. Kemanapun aku melihat ya Allah maka jadikanlah bahwa aku selalu melihat diri-Mu ya Allah. Tuntunlah pendengaranku sehingga setiap pendengaranku itu adalah karena Engkau ya Allah. Astaghfirullah al adzim 3x. Al Fathehah. Al Ikhlas.

Hari ke 3:
Santri Kepala
Hai apa khabar sobat, kayaknya ini Pak Marsigit ya? Lho kenapa masih di sini? Bukankah acara Ritual Ikhlas sudah selesai, dan peserta yang lainnya sudah pada pulang. Kenapa Pak Sigit masih berada di sini? Tumben pula, nggak buat Elegi? Saya tertarik lho sama Elegi-elegi Bapak, dan saya mengikuti terus walaupun tidak pernah membuat komen.

Marsigit:
Iya..terimakasih Santri Kepala...memang...

Santri Kepala:
Kok kelihatannya serius amat ni? Apakah ada yang bisa saya bantu? Bagaimana saya harus memanggil anda? Saya memanggil Pak Marsigit, Bagawat Selatan atau Muhammad Nurikhlas?

Marsigit:
Ini bukan masalah Elegi...ini juga bukan Bagawat Selatan atau Muhammad Nurikhlas. Marsigit ya Marsigit. Sekarang saya tidak bisa lagi bermetapora. Sekali Marsigit ya tetap Marsigit. Begini Santri Kepala saya ingin menanyakan perihal pengalaman saya bercampur keinginan saya, dan keinginan saya bercampur pengalaman saya.

Santri Kepala:
Lho apa itu?

Marsigit:
Begini Santri Kepala...entah datangnya dari mana...........suatu saat begitu saja aku ingin memandang Wajah Rasulullah. Tetapi begitu aku mempunyai niat, maka bergetarlah seluruh tubuhku dan hatiku. Aku tidak kuasa melangkahkan kakiku. Aku tidak mempunyai tenaga. Oleh karena itu aku masih tetap di sini. Apakah Santri Kepala bisa membantu saya, bagaimana bisa saya memandang Wajah Rasulullah? dan apa syarat-syaratnya aku bisa memandang Wajah rasulullah? Seperti apakah Wajah Rasulullah itu?

Santri Kepala:
Wah ternyata serius bener nih. Begini Pak Marsigit, saya malah ganti ingin bertanya terlebih dulu. Secara dhohir Rasulullah itu telah meninggal dunia, bagaimana Pak Marsigit mampu meyakininya, jika belum pernah melihat Wajahnya?

Marsigit:
Aku lupa sejak kapan, karena aku sering melafalkan sejak kecil, yaitu bahwa aku meyakini Rasulullah dan kebenaran yang dibawanya semenjak saya mengucapkan syahadat, sebagai berikut: Saya bersaksi bahwa tiada Ilah selain Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad saw adalah Rasul / utusan Allah.: “Asyhadu An-Laa Ilâha Illallâh wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullâh”

Santri Kepala:
Unsur hakekat apa saja yang ada dalam Kalimah Syahadat itu?

Marsigit:
Setau saya ya kesaksianku bahwa tiada Ilah selain Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad saw adalah Rasul / utusan Allah. Apakah sekiranya terdapat unsur-unsur hakekat yang lainnya?

Santri Kepala:
Dilihat dari semantik bahasanya dan ontologis maknanya, Kalimah Syahadat itu memuat banyak unsur yaitu Pengetahuan, Ikrar, Sumpah, Janji, Keyakinan, Keikhlasan, Kejujuran, Kecintaan, Penerimaan dan Ketundukan.

Marsigit:
Wah...bolehkan anda uraikan apa yang dimaksud masing-masing maknanya itu?

Santri Kepala:
Kalimah Syahadat mengandung unsur Pengetahuan karena seseorang yang bersyahadat harus memiliki pengetahuan tentang syahadatnya. Dia wajib memahami isi dari dua kalimat yang dia nyatakan itu, serta bersedia menerima konsekuensi ucapannya. Seseorang yang bersyahadat haruslah mengetahui dengan sempurna makna dari syahadat tanpa sedikitpun keraguan terhadap makna tersebut. Artinya diapun harus meyakininya. Jika seorang muslim telah mengikrarkan Kalimah Syahadat maka dia mempunyai kewajiban untuk menegakkan dan memperjuangkan apa yang kita Ikrarkan itu. Mengucapkan Kalimah Syahadat juga mengandung unsur Sumpah, artinya seorang muslim yang telah mengucapkannya bersedia menerima akibat dan resiko apapun dalam mengamalkan sumpahnya tersebut, siap dan bertanggung jawab dalam tegaknya Islam dan penegakan ajaran Islam. Mengucap Kalimah Syahadat juga mempunyai unsur ontologisnya Janji, yaitu berjanji setia untuk mendengar dan taat dalam segala keadaan terhadap semua perintah Allah SWT, yang terkandung dalam Al Qur'an maupun Sunnah Rasul. Bersyahadat itu juga harus memenuhi unsur Menerima dan Tunduk dengan Jujur, Ikhlas, dan semata-mata demi Cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Bersyahadat itu harus menerima dengan Jujur dan Ikhlas segala sesuatu yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Dan hal ini harus membuahkan ketaatan dan ibadah kepada Allah SWT, dengan jalan meyakini bahwa tak ada yang dapat menunjuki dan menyelamatkannya kecuali ajaran yang datang dari syariat Islam melalui Al Qur'an dan Sunnah Rasul, serta berserah diri kepada Allah dan Rasul-Nya dengan Tunduk secara fisik dan Menerima dalam hati, kemudian mengamalkan semua perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya, dan selalu siap melaksanakan ajaran Islam dalam kehidupannya.

Marsigit:
Astagfirullah al adzim...ya Allah ampunilah dosaku atas kebengalan pikiranku ini. Ternyata tidak aku sangka bahwa dari kalimat Syahadat yang sederhana itu mengandung makna yang sangat dalam dan sangat luas. Ya Allah sekali lagi mohon ampun diriku yang hina ini. Aku jadi tidak merasa percaya diri. Pantaskah orang seperti diriku ini punya keinginan memandang Wajah Raulullah? Ya Allah ..permohonan ampun yang terus-menerus bagiku kiranya belumlah cukup bagi diriku untuk menghapus dosa-dosaku. Astagfirullah al adzim...5 x, al-Fathehah 1x, al-Ikhlas 3x.

Santri Kepala:
Wahai Pak Marsigit...kenapa dirimu itu? Baik-baik saja? Katanya mau bikin Elegi?

Marsigit:
Aku telah menemukan bahwa kalimat-kalimatku pada hari ke 1, hari ke 2 dan hari ke 3 sekarang ini, itulah sebenar-benar Elegi itu. Walaupun aku tidak terlalu peduli tentang apakah dia Elegi atau bukan. Tetapi maafkan Santri Kepala..aku tidak sanggup meneruskan..perbincangan ini. Aku betul-betul diliputi suasana hati yang haru dan perasaan yang tidak bisa aku gambarkan dengan kata-kata. Ijinkanlah aku ingin meneteskan air mataku. Tetesan air mataku itulah yang mewakili segala suasana kebathinanku itu. Maaf Santri Kepala biarkan aku sendirian disini seraya aku ingin mensyukuri nikmat yang tiada tolok bandingannya yang telah dikaruniakan oleh Allah kepadaku. Ya Allah ampunilah dosa-dosaku. Aku tidak mengira bahwa keinginanku memandang Wajah Rasulullah itu benar-benar keterlauan karena belum mengukur dan melihat siapa diriku itu, bagaimana ikhlasku itu, seberapa banyak amal-amalku, bagaimana adab berdoaku, bagaimana adab beribadatku, seberapa sadakahku, seberapa perjuanganku di jalan Allah, dsd. Di beri hidup sampai di sini saja aku sudah merasa bersyukur. Aku tidak tahu apakah hari esok aku masih mampu bertanya kepadamu Santri Kepala.

Santri Kepala:
Baiklah Pak Marsigit, untuk menenangkan pikiran marilah kita berdoa bersama.
Allohuma ij’alana minadz dzaakiriena wadz dzaakirot. Allohumma nawwir qulubana bikulli hidayatika kama nawwarta binuri syamsika abadan abadan. Robbana taqobbal minna innaka Antas Samie’ul ‘Alaiem watub ‘alaina innaka Anta Tawwabur Rohiem. Robbana dholamna anfusana wa inlam taghfir lana watarhamna lanakunanna minal khosirien. Robbana atina fid dunya hasanatan wafil akhiroti hasanatan wa qina adzaban naar, wa adkhilna jannata ma’al abror Ya ‘Aziezu Ya ghoffar. Wa sholallohu ‘alaa Sayyidina Muhammadin an-nabiyyil umiyyi wa a’alaa alihi wa shohbihi wa azwajihi wa dzurriyyatihi wa ahli baitihi ajma’ien wasallam. Subhana Roobika Robbil ‘Izzati ‘amma yashifuun wa salamun ‘alal mursalien wal hamdulullahi Robbil ‘alamien.

Hari ke 4:
Santri Kepala:
Wahai sobatku, Pak Marsigit...sudahlah....janganlah berlarut-larut dan berlebihan segala sesuatunya itu. Selalu istigfar dan mohon ampunlah kepada Allah SWT, serta mohon petunjuk dengan ikhlas dan tawakal seraya berserah diri memohon ridhanya. Pada hari ke 4 ini apakah anda masih memikirkan tentang Wajah Rasulullah?

Marsigit:
Maaf Santri Kepala...tentulah selama 4 hari sempai sekarang aku lebih dari memikirkannya tentang Wajah Rasulullah itu. Segenap jiwa dan ragaku telah melibatkan diri dalam ikhtiarku dalam pengalaman dan keinginan memandang Wajah Rasulullah, kemanapun mukaku aku palingkan. Engkau belum menjawab pertanyaanku semula yaitu apakah engkau bisa membantu saya, bagaimana bisa saya memandang Wajah Rasulullah? dan apa syarat-syaratnya aku bisa memandang Wajah Rasulullah? Seperti apakah Wajah Rasulullah itu?

Santri Kepala:
Oh baiklah kalau begitu. Marilah kita dengarkan saja apa kata mereka yang sudah berpengalaman melihat Wajah Rasulullah. Hadits yang diriwayatkan oleh Al Thabrani, juga Al Haitamidalam kitab Majma’ 2:220 menerangkan kesaksian seseorang yang pernah menyaksikan peristiwa kelahiran Rasulullah. Ialah ibu Utsman binti Abdash, beliau berkata, “Aku menyaksikan ketika Aminah melahirkan Rasulullah, keluar cahaya yang menyinari seluruh rumah. Di saat itu aku sedang berada di rumahnya. Kemana pun kami melihat, yang terlihat adalah cahaya.”

Marsigit:
Apakah ada perumpamaan tentang Wajah Rasulullah itu seperti apa?

Santri Kepala:
Banyak sekali hadits-hadits yang menyebutkan bahwa seluruh anggota tubuh Rasulullah serta wajah beliau bercahaya. Ada sahabat yang berkata, “Apakah wajah itu seperti pedang, sehingga orang yang melihatnya ketakutan?” “Tidak. Wajahnya seperti rembulan.” Ka’ab bin Malik menceritakan, “Ketika mengucapkan salam kepada Rasulullah, aku melihat wajah beliau berseri-seri karena kebahagiaan. Seperti diriwayatkan dalam Shahih Bukhari bab shifat Nabi. Jika merasa bahagia, wajah Rasulullah itu berseri-seri seperti rembulan.”

Marsigit:
Dijelaskan bahwa Wajah Rasulullah itu bersinar. Sinar seperti apakah? Apakah sinar yang kongkrit ataukah sinar sebagai suatu perumpamaan? Bagaimanakah sikap kita sebetulnya terhadap hal ini? Apakah boleh aku mengharap bisa memandang Wajahnya?

Santri Kepala:
Keterangan dari Sayyidah Aisyah, Kanzul Ummal 6:207 , “Aku meminjam jarum dari Habsah binti Rawahab untuk menjahit. Jarum itu jatuh. Aku mencari-cari, tapi tidak menemukannya. Maka ketika Rasulullah masuk, kelihatan jelaslah jarum yang hilang itu karena pancaran sinar wajahnya. Aku pun tertawa. Rasulullah bertanya, ‘Hai Humaira, mengapa engkau tertawa?’ Aku kuceritakanlah peristiwa itu. Kemudian Rasulullah berkata dengan suara yang keras, “Hai Aisyah, malanglah orang yang tidak diberi kesempatan memandang wajahku karena tidaklah seorang Mukmin atau kafir kecuali mengharapkan melihat wajahku.”

Marsigit:
Apakah sinar wajahnya juga memancarkan kewibawaan?

Santri Kepala:
Ali Karamahu Wajhah pernah berkata: “Siapa yang melihatnya sepintas lalu pasti akan terpegun kerana kewibawaannya.” Amer bin Ash menghadap Nabi SAWuntuk yang pertama kali ia berkata: “Aku tidak sanggup menatap wajahnya, kalau sekiranya orang bertanya kepadaku tentang sifat-sifat baginda, seraya tidak sanggup aku menceritakannya kerana mataku tidak sanggup menatap wajahnya.” SUBHANALLAH! Adapun pancaran nurani yg menghiasi keindahan dan keagungan Nabi Muhammad SAW sebagai yang tersebutpada sifta-sifat dan gambaran wajahnya, maka itu pun dalam erti yang hakiki. Oleh kerana itu, apa yang dimiliki oleh Rasulullah itu merupakan suatu kelebihan yang diberikan oleh Allah swt langsung kepada hambaNya yang dipilih.

Marsigit:
Apakah yang disebut Nur Muhammad itu?

Santri Kepala:
Mawlana Syaikh Hisyam Kabbani ar-Rabbani dalam Arief Hamdani menyatakan dari Nur Muhammad Allah menciptakan sebuah lampu jamrut hijau dari Cahaya, dan dilekatkan pada pohon itu melalui seuntai rantai cahaya. Kemudian Dia menempatkan ruh Muhammad s.a.w. di dalam lampu itu dan memerintahkannya untuk memuja Dia dengan Nama Paling Indah (Asma al-Husna). Itu dilakukannya, dan dia mulai membaca setiap satu dari Nama itu selama 1,000 tahun. Ketika dia sampai kepada Nama ar-Rahman (Maha Kasih), pandangan ar-Rahman jatuh kepadanya dan ruh itu mulai berkeringat karena kerendahan hatinya. Tetesan keringat jatuh dari padanya, sebanyak yang jatuh itu menjadi nabi dan rasul, setiap tetes keringat beraroma mawar berubah menjadi ruh seorang Nabi.

Marsigit:
Subhanallah! Adakah hubungan antara penciptaan Nur Muhammad dengan ruh para nabi?

Santri Kepala:
Mawlana Syaikh Hisyam Kabbani ar-Rabbani dalam Arief Hamdani menyatakan Azza wa Jala berkata kepada Nabi Muhammad s.a.w., “Lihatlah ini sejumlah besar nabi yang Aku ciptakan dari tetesan keringatmu yang menyerupai mutiara.” Mematuhi perintah ini, dia memandangi mereka itu, dan ketika cahaya mata itu menyentuh menyinari objek itu, maka ruh para nabi itu sekonyong konyong tenggelam dalam Nur Muhammad s.a.w., dan mereka berteriak, “Ya Allah, siapa yang menyelimuti kami dengan cahaya?” Allah menjawab mereka, “Ini adalah Cahaya dari Muhammad Kekasih Ku, dan kalau kamu akan beriman kepadanya dan menegaskan risalah kenabiannya, Aku akan menghadiahkan kepada kamu kehormatan berupa kenabian.” Dengan itu semua ruh para nabi itu menyatakan iman mereka kepada kenabiannya, dan Allah berkata, “Aku menjadi saksi terhadap pengakuanmu ini,” dan mereka semua setuju.

Marsigit:
Subhanallah! Adakah hubungan antara Nur Muhammad dengan Al-Qur’an?

Santri Kepala:
Mawlana Syaikh Hisyam Kabbani ar-Rabbani dalam Arief Hamdani menyatakan sebagaimana disebutkan di dalam al Quran yang Suci: Dan ketika Allah bersepakat dengan para nabi itu : Bahwa Aku telah memberi kamu Kitab dan Kebijakan; kemudian akan datang kepadamu seorang Rasul yang menegaskan kembali apa-apa yang telah apa padamu–kamu akan beriman kepadanya dan kamu akan membantunya; apa kamu setuju? Dia berkata,”Dan apakah kamu menerima beban Ku kepadamu dengan syarat seperti itu. Mereka berkata, ‘Benar kami setuju.’ Allah berkata, Bersaksilah demikian, dan Aku akan bersama kamu diantara para saksi.’ (Ali Imran, 3:75-76).

Marsigit:
Subhanallah! Adakah hubungan antara Nur Muhammad dengan Asma ul Husna? Apakah ada hubungan antara Nur Muhammad dengan penciptaan para malaikat?

Santri Kepala:
Mawlana Syaikh Hisyam Kabbani ar-Rabbani dalam Arief Hamdani menyatakan kemudian ruh yang murni dan suci itu kembali melanjutkan bacaan Asma ul Husna lagi. Ketika dia sampai kepada Nama al-Qahhar, kepalanya mulai berkeringat sekali lagi karena intensitas dari al Qahhar itu, dan dari butiran keringat itu Allah menciptakan ruh para malaikat yang diberkati.

Marsigit:
Subhanallah! Apakah ada hubungan antara Nur Muhammad dengan penciptaan alam semesta?

Santri Kepala:
Mawlana Syaikh Hisyam Kabbani ar-Rabbani dalam Arief Hamdani menyatakan dari keringat pada mukanya, Allah menciptakan Singgasana dan Hadhirat Ilahiah, Kitab Induk dan Pena, matahari, rembulan dan bintang -bintang.

Marsigit:
Subhanallah! Apakah ada hubungannya antara Nur Muhammad dengan penciptaan para ulama, syuhada dan mutaqin?

Santri Kepala:
Mawlana Syaikh Hisyam Kabbani ar-Rabbani dalam Arief Hamdani menyatakan dari keringat di dadanya Dia menciptakan para ulama, para syuhada dan para mutaqin.

Marsigit:
Subhanallah! Apakah ada hubungannya antara Nur Muhammad dengan rumah surgawi, Kaba, dan tempat-tempat suci lainnya?

Santri Kepala:
Mawlana Syaikh Hisyam Kabbani ar-Rabbani dalam Arief Hamdani menyatakan dari keringat pada punggungnya dibuat lah Bayt-al-Ma’mur( rumah surgawi) Kabatullah (Kaba), dan Bayt-al-Muqaddas (Haram Jerusalem) dan Rauda-i-Mutahhara (kuburan Nabi Suci s.a.w.di Madinah), begitu juga semua mesjid di dunia ini.

Marsigit:
Subhanallah! Apakah ada hubungannya antara Nur Muhammad dengan ruhnya kaum beriman atau bahkan orang tak beriman sekalipun?

Santri Kepala:
Mawlana Syaikh Hisyam Kabbani ar-Rabbani dalam Arief Hamdani menyatakan dari keringat pada alisnya dibuat semua ruh kaum beriman, dan dari keringat punggung bagian bawahnya dibuatlah semua ruh kaum tak-beriman, pemuja api dan pemuja patung. Dari keringat di kaki nya dibuatlah semua tanah dari timur ke barat, dan semua apa-apa yang berada didalamnya. Dari setiap tetes keringatlah ruh seorang beriman atau tak-beriman dibuat.

Marsigit:
Subhanallah! Kalau begitu seperti apakah sebetulnya ruh Nabi Muhammad SAW?

Santri Kepala:
Mawlana Syaikh Hisyam Kabbani ar-Rabbani dalam Arief Hamdani menyatakan, itulah sebabnya Nabi Suci s.a.w.disebut juga sebagai “Abu Arwah”, Ayah para Ruh. Semua ruh ini berkumpul mengelilingi ruh Muhammad s.a.w., berputar mengelilinginya dengan pepujian dan pengagungannya selama 1,000 tahun; kemudian Allah memerintahkan para ruh itu untuk memandang ruh Muhammad sallallahu alayhi wasalam. Para ruh mematuhi.

Marsigit:
:-( :-( :-( :-( :-( :-( :-( :-( :-( :-( :-( :-( :-( :-( :-( :-( :-( :-( :-( :-( :-( :-( :-( :-( :-( :-( :-( :-( :-( :-( :-( :-( ( :-( :-( :-( :-( :-( :-( :-( :-( :-( :-(

Santri Kepala:
Pak Marsigit...kenapa engkau malah menangis?

Marsigit:
Subhanallah! Jangan salah paham Santri Kepala. Tangisanku itu adalah tangisan haru dan tangisan bersyukur. Sampai habis air mataku karena menangis selama empat hari empat malam, belumlah cukup kiranya aku mensyukuri nikmat tiada tolok bandingannya atas pencerahan dari Allah SWT yang baru saja aku dapatkan melalui perantaraan anda. Jika diperbolehkan kiranya, aku ingin segera mati saja biar segera menyusul ruh-ruh itu. Tetapi jika melihat bekalku belum seberapa, maka ijinkanlah aku ingin hidup seribu tahun lagi. Dalam filsafat itu adalah kontradiksi, dalam spiritual itu adalah karunia. Sebab kontradiksi itu ditimbulkan dikarenakan sifat manusia yang terbatas. Sedangkan Allah SWT menciptakan semua yang ada dan yang mungkin ada dengan tiada kontradiksi sedikitpun. Subhanallah. Luar biasa rakhmat Allah bagi yang mampu melihatnya. Luar biasa pula rakhmat dari Allah bagi orang-orang yang mau belajar dan memikirkannya. Amin. Sekiranya aku segera mati, maka aku tentu ingin khusnul khotimah. Tolong Santri Kepala aku diberi doa-doa bagaimana doa memohon khusnul khotimah itu?

Santri Kepala:
Baiklah. Ya Allah, jadikanlah sebaik-baik umurku pada ujungnya, dan sebaik-baiknya amalku adalah pada ujung akhirnya, dan sebaik-baik hariku adalah pada saat aku menemui-Mu. Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepada-Mu) . Ya Allah, sesungguhnya kami memohon pada-Mu keselamatan dalam agama, kesejahteraan/kesehatan jasmani, bertambah ilmu pengetahuan, rezeki yang berkat, diterima taubat sebelum mati, dapat rahmat ketika mati dan dapat ampunan setelah mati. Ya Allah, mudahkanlah kami pada waktu sekarat dan selamatkanlah kami dari api neraka serta kami mohon kemaafan ketika dihisap.Ya Allah, Yang Maha Pengasih lagi Penyayang, Yang Maha Pengampun lagi Maha Kuasa atas segala sesuatu. Aku mohon ya Allah, janganlah dulu cabut nyawaku sebelum Engkau haramkan neraka bagi kulitku dan sebelum Engkau wajibkan surga bagi diriku. Tetapkanlah diriku selalu setiap saat dalam keadaan beriman dan ingat kepada-Mu. Jadikanlah aku selalu dalam keadaan takut akan akhirat-Mu, jadikanlah aku menjadi orang yang dapat mencintai-Mu sebagaimana Rasulullah SAW dan para sahabatnya mencintai diri-Mu dan sebagaimana mereka takut akan akhirat-Mu. Ya Allah, jadikanlah hidupku mulai hari ini hingga detik-detik terakhir kematianku penuh ketaqwaan, keimanan, kemudahan dan kebahagiaan. Lapangkanlah kuburanku, jauhkanlah aku dari siksa kubur ya Allah. Mudahkanlah aku ya Allah di padang Mahsyar, jadikanlah aku termasuk orang yang Engkau lindungi di padang Mahsyar hingga hari penghisaban. Mudahkanlah penghisaban diriku ya Allah. Masukkanlah aku ke surga-Mu ya Allah. Jadikanlah aku termasuk orang yang Engkau beri izin untuk memandang wajah-Mu kelak di akhirat. Ya Allah, jadikanlah sebaik-baik umurku pada ujungnya, dan sebaik-baiknya amalku adalah pada ujung akhirnya, dan sebaik-baik hariku adalah pada saat aku menemui-Mu. Amin ya rob alamin.

Bacaan diambil dari berbagai sumber:
1.http://wiki.myquran.org/index.php/Syahadat
2.http://majlisdzikrullahpekojan.org/kisah-nabawi/bentuk-tubuh-dan-akhlak-rasulullah-saw/cahaya-wajah-rasulullah-saw.html:Cahaya Wajah Rasulullah saw
3.http://saffone.1.forumer.com/a/wajah-rasulullah-memancar-keindahan-dan-kewibawann_post443.html
4.Ashari dalam http://manakib.wordpress.com/2008/03/13/dari-nur-muhammad-saw/
5.Arief Hamdani dalam http://manakib.wordpress.com/2008/03/13/dari-nur-muhammad-saw/

Elegi Memahami Elegi

Oleh Marsigit

Mahasiswa:
Aku jengkel, aku marah, aku tak peduli, aku tersinggung...

Dosen:
Sebentar apa masalahnya? Mengapa anda bersikap demikian?

Mahasiswa:
Ah Bapak tak perlu berpura-pura. Kan segala macam persoalan yang membuat Bapak sendiri.

Dosen:
Lho kenapa, emangnya apa salahnya Elegi?

Mahasiswa:
Setelah membaca Elegi dan mengikuti kuliah Bapak saya jadi pusing. Kon`sep pemikiranku menjadi berantakan tak karuan. Waktu saya untuk belajar filsafat itu cuma sedikit Pak. Saya mempunyai banyak tugas-tugas yang lain. Apa lah gunanya berfilsafat, sehingga berbicara ngalor ngidul yang tak relevan dengan kehidupan sehari-hari. Lagi pula tidak ada sangkut pautnya dengan tugas mengajar saya. Saya perlu pemondokan, saya perlu transportasi, saya bolak balik dari kampus ke tempat asalku. Itu sudah sangat menyita waktu.

Dosen:
Lha apa usul anda?

Mahasiswa:
Berikan saja kepada saya referensi yang singkat, padat dan jelas, untuk kemudian saya bisa baca dengan singkat dan saya gunakan untuk persiapan ujian. Beres gitu aja pak.

Dosen:
Maaf, menurut pandangan saya. Ibarat perjalanan, anda sudah memasuki jalan-jalan dan gang sempit, sehingga sulit bagi dirimu untuk membalikkan kendaraanmu atau parkir atau balik arah dsb. Padahal orang belajar filsafat itu ibarat duduk di lobi, dia belum menentukan sikap jalan mana yang harus dilalui, dia hanya baru memikirkannya.

Mahasiswa:
Tetapi sebagian Elegio itu betul-betul mengganggu pikiran saya. Saya kadang-kadang tidak merasa nyaman di hati, bahkan ingin marah.

Dosen:
Kelihatannya anda cukup bernafsu dalam bersikap. Jika demikian maka pilihan hidup anda akan semakin sedikit. Bukankah banyak orang lebih suka mempunyai banyak pilihan agar hidup itu membahagiakan? Padahal dalam mempelajari filsafat, mahasiswa itu seyogyanya dalam keadaan NOL. Artinya agar mampu berpikir kritis, maka kita perlu berpikir netral, tidak prejudice atau watprasangka, tidak emosi, tidak putus asa.


Mahasiswa:
Jujur saja untuk berbicara di kelas juga aku mengalami kesulitan, karena mungkin bacaanku juga masih sedikit.

Dosen:
Kenapa engkau tidak usul atau bertanya atau memberi saran.

Mahasiswa:
Untuk itu semua juga sama saja. Saya tidak merasa pede karena mungkin saya juga kurang membaca. Atau bacaan saya belum relevan dengan pokok pembicaraan.

Dosen:
Terus apalagi yang ingin engkau sampaikan?

Mahasiswa:
Kenapa Bapak melakukan testing filsafat, sehingga terasa memberatkan mahasiswa?

Dosen:
Itu merupakan komunikasi formal. Wajib hukumnya bagi dosen untuk menguji mahasiswa.

Mahasiswa:
Kenapa ujiannya seperti itu, lain lagi minta ujiannya sesuai dengan selera saya.

Dosen:
Ujian seperti apa yang engkau inginkan?

Mahasiswa:
Aku sendiri juga bingung. Bagaimana ya cara Bapak menguji diriku agar Bapak juga tahu kemampuan berfilsafatku?

Dosen:
Saya sebetulnya mempunyai banyak cara dan teori untuk mengujimu. Anda sendiri juga bisa membuat refleksi, bisa membuat makalah, bisa menguraikan atau membuat tesis, anti tesis atau sintesis.

Mahasiswa:
Apa pula itu Pak?

Dosen:
Kemarahan dan emosimu telah menutup sebagaian ilmumu. Jika engkau terus-teruskan itulah sebenar-benar musuhmu dalam belajar filsafat. Jika engkau tidak mamu mengatasi sampai kuliah ini berakhir, itu pertanda engkau gagal dalam menempuh perkuliahan. Padahal sebetul-betulnya yang terjadi adalah untuk belajar filsafat, tidak cukup hanya membaca sedikit, tidak tepat kalau hanya menginginkan petunjuk teknis, tidak cukup kalau hanya membaca referensi wajib, tidak cukup hanya berpikir parsial. Jika itu yang engkau lakukan maka itulah sebenar-benar anda akan menjadi manusia yang berbahaya dimuka bumi ini, karena anda akan menggunakan filsafat tidak tepat ruang dan waktunya. Maka mempelajari filsafat juga tidak bisa urut hirarkhis, tidak hanya membaca tetapi berfilsafatlah dengan segenap jiwa ragamu. Itulah maka sebenar-benar filsafat adalah refleksi hidupmu sendiri. Amarahmu dan kekecewaanu itu adalah catatanmu. Tetapi ketahuilah bahwa amarah dan emosi itu sebenar-benar adalah telah menghabiskan dan membakar energimu.

Mahasiswa:
Pak, untuk sementara aku akan berdiam diri, untuk memperoleh ketenangan.

Dosen:
Baik, dalam diam itu ada kebajikan. Karena diam dapat digunakan sebagai sarana untuk refleksi diri. Ketahuilah bahwa refkesi diri itu merupakan kegiatan berpikir yang paling tinggi. Demikianlah semoga kita semua dapat selalu belajar dari pengalaman. Amiiin.

Mahasiswa:
Ntar Pak jangan ditutup dulu. saya ingin tanya dengan jurur. Terus terang saya mengalami kesulitan memahami Elegi Bapak. Bahasa apa yang Bapak gunakan?

Dosen:
Baik anda mengalami kesulitan karena saya menggunakan berbagai macam bahasa dengan segala tingkatannya.

Mahasiswa:
Maksud Bapak?

Dosen:
Elegi itu tidak hanya meliputi jenis ucapan tetapi juga tindakan ucapan. Kita mengetahui ada paling sedikit empat macam jenis komunikasi: material, formal, normatif dan spiritual. Maka Elegi itu meliputi semua tingkatan jenis komunikasi tersebut.

Dalam Elegi aku juga berusaha menggunakan bahasa konstatif, maksudnya saya berusaha menggambarkan suatu kejadian atau fakta atau fenomena menggunakan gaya bahasaku sendiri. Dengan bahasa konstatif itu anda dapat melakukan verifikasi atau menilai benar salahnya pernyataan saya. Maka carilah mereka itu dalam Elegi-elegi saya. Tetapi ada juga Elegi dimana saya bebas memilih kata-kata atau bahasa saya sesuai dengan selera saya.

Dengan bahasa demikian saya tidak bermaksud agar anda membuktikan kebenarannya, tetapi semata-mata merupakan usaha saya sebagai penutur bahasa untuk memberi muatan filsafat, muatan moril atau muatan pengetahuan atau muatan pengalaman lainnya. Dengan bahasa perforatif itu saya ingin menunjukkan bahwa elegi itu memang orisinil tulisan saya.

Saya juga ingin menunjukkan kehadiran keterlibatan saya dalam elegi itu dengan demikian saya bisa lebih menghayati penulisan elegi itu. Di sinilah mungkin terjadi perbedaan taraf kelaikan yang anda harapkan dengan taraf kelaikan yang saya gunakan atau saya pilih. Jika terjadi kesenjangan ini maka saya menyadari bahwa anda akan dibuatnya “unhappy”, sedangkan saya sipembuat elegi happy-happy saja.

Tetapi dalam membuat Elegi ini saya juga tidak hanya melakukan hal-hal di atas. Dalam beberapa hal saya juga melakukan apa yang disebut sebagai tindakan lokusi, yaitu meletakkan tanggung jawab penuturan bahasa bukan pada penuturnya tetapi kepada semuanya. Artinya penuturan bahasa itu memang bersifat umum. Dengan mengambil tindakan lokusi pada suatu Elegi saya merasa mempunyai landasan untuk mengembangkan tindakan illokusi bahasa.

Tindakan illokusi bahasa adalah bahasa yang menunjukkan lawan terhadap tindakan sesuatu, dengan demikian tindakan illokusi ini akan menuntut saya sebagai si penutur bahasa untuk bersikap konsekuen juga melaksanakan penuturan saya itu. Misal keyika saya menyarankan anda untuk membaca, itu berarti saya juga seharusnya menyarankan kepada diri saya juga. Demikian juga ketika saya menyarankan anda untuk berbuat baik, bertindak konsisten, berpikir kritis, dsb.

Namun tidak hanya itu saja. Kata-kataku dalam elegi juga sebagian menunjukkan keadaan si pendengar dengan segala implikasinya. Artinya, saya menyadari bahwa kata-kata saya itu akan berpengaruh terhadap si pembaca elegi. Dalam filsafat bahasa mungkin ini yang disebut sebagai tindakan saya yang bersifat perlokusi.

Misalnya kalimat saya yang berbunyi-tidak mungkin belajar filsafat tanpa membaca-.
Ini berakibat anda sebagai mahasiswa saya yang menempuh filsafat, mau tidak mau harus membaca. Jika hal demikian dirasa berat, itulah anda dan juga saya menemukan bukti yang kesekian kalinya bahwa manusia di dunia itu bersifat kontradiktif.

Maka dapat aku katakan bahwa hidup itu adalah pilihan. Jika itu telah menjadi pilihanmu, mengapa engkau melakukan segala perbuatanmu kelihatannya kurang ikhlas. Bukannya engkau tahu bahwa ketidak ikhlasan walau sedikitpun itu tidak akan membawa manfaat baik di dunia maupun akhirat.

Maka renungkanlah. Semoga Allah SWT mengampuni segala kesalahan dan dosa-dosa kita. Amiin.

Elegi Ritual Ikhlas IV: Menemukan Ruh

Oleh Marsigit

Hingga selesai menulis Elegi Memandang Wajah Rasulullah dan juga setelah selesai pula membaca komen-komen dari pembaca semuanya, keadaan saya dapat digambarkan sebagai enggan pergi, enggan beranjak, baik pikiran-pikiranku, ucapan-ucapanku dan tulisan-tulisanku. Mulutku seakan terkunci tak mampu memproduksi kata-kata, dan tulisanku seakan berhenti karena ingin menghormati lengangnya hati. Tetapi paralogismeku mengatakan bahwa bukanlah hanya sekali saja keinginanku memandang. Seperti doa dan pikiranku yang seharusnya secara kontinu mengalir lantunkan sepanjang ruang dan waktu. Maka memandang Wajahmu ya Rasulullah adalah ijtihatku secara terus menerus kontinu dalam ruang dan waktuku. Janganlah aku hanya merasa pernah atau akan, tetapi berilah aku telah, sedang dan terus memandang Wajahmu ya Rasulullah baik ketika aku masih hidup maupun setelah matiku. Aku menemukan bahwa untuk itu maka tidaklah mampu mataku itu memandangmu, tidaklah aku mampu memikirkanmu, tetapi sungguh dengan mata hatikulah aku memandangmu. Tetapi aku menyadari pula bahwa terkadang mata hatiku juga mengalami kesulitan memandangmu ya Rasulullah. Maka ruang beruang, waktu berwaktu, pandang memandang, ilmu berilmu, safaat bersafaat, karunia berkarunia, guru berguru, cahaya bercahaya dan sinar bersinar. Ternyata aku menemukan bahwa tidaklah mungkin aku mampu memandang sinar Wajahmu dengan mata hatiku jika mata hatiku itu juga belum bersinar. Maka hanya dengan sinar mata hatiku pulalah aku mampu memandang sinar wajahmu ya Rasulullah. Ternyata aku kemudian menemukan bahwa sinar wajahmu itu adalah Ruh Muhammad itu sendiri. Subhanallah. Setelah engkau sinari diriku dengan sinar wajahmu, ternyata aku menemukan bahwa sebenar-benar sinar mata hatiku itu ternyata adalah ruhku sendiri. Tiadalah penciptaan segala sesuatu itu tidak terkait dengan Ruh Muhammad. Tiadalah penciptaan ruhku itu selain dari ketundukanku kepada ruh Muhammad ya Allah. Ya Allah ya Robb, ampunilah kelancangan pikir dan kalimatku itu. Dudukkan dan tidurkanlah diriku, tengadahkanlah wajahku, tunjukkanlah langkahku, alirkanlah nafas dan darahku, jadikanlah hidupku di dunia dan akhirat dalam naungan Ruh Muhammad yaitu “Abu Arwah”, Ayah para Ruh. Jadikanlah ruhku ikut berkumpul dan mengelilingi ruh Muhammad s.a.w., berputar mengelilinginya dengan pepujian dan mengagungkannya dalam dimensi ruang dan waktumu; kemudian pada saat itu ijinkanlah ruhku itu untuk memandang dan mematuhi ruh Muhammad sallallahu alayhi wasalam. Amin. Ya Allah ya Robb, itulah mengapa keadaan saya dapat digambarkan sebagai enggan pergi, enggan beranjak, baik pikiran-pikiranku, ucapan-ucapanku dan tulisan-tulisanku. Mulutku seakan terkunci tak mampu memproduksi kata-kata, dan tulisanku seakan berhenti. Karena aku menemukan bahwa ternyata ruhku lah yang sedang bicara. Amin.