Jumat, 16 Desember 2011

Elegi Sang Bagawat Menggapai Kesempatan

Oleh Marsigit

Transenden:
Ooo.oo..begitu..jadi ternyata aku menemukan bahwa ada bermacam-macam dimensi Bagawat dalam rentang ruang dan waktunya. Sebetul-betul Bagawat adalah pembawa, pengembang dan pemelihara ilmu bagi dimensinya. Setelah aku mengadakan Seminar Pertama Para Bagawat, sekarang sudah agak jelas mengapa persoalan-persoalan itu muncul. Aku juga bersyukur karena semakain banyak Bagawat menyadari keberadaan Bagawat yang lain. Melalui konferensi itu aku juga telah menemukan bahwa sebenar-benar Bagawat adalah pengada dan pemelihara logos. Bagawat Powernow itu ternyata adalah Bagawat Posmo dimana dia tidak mengontologikan sosok pribadi yang terisolasi. Dia betul-betul menyatu dan berkiprah ditengah samodra jejaring neolisme. Tiadalah Bagawat di bawah level Posmo seperti Bagawat Modern, Bagawat Tradisional dst mampu menandinginya. Sebenar-benar ilmu bagi Bagawat Posmo adalah manfaat-manfaatnya. Barang siapa tidak mendukung manfaatnya maka akan tergilaslah mereka itu. Itulah sebenar-benar penampakan Dajal yaitu sebuah Sistem Parsial yang hanya menguntungkan sebagian golongan saja. Sedangkan untuk kelompok yang lainnya, mereka cenderung memaksakan kehendaknya. Setinggi-tinggi Bagawat di Indonesia, termasuk Pemimpinnya, hanyalah sampai level Bagawat Tradisional dan sebagian Modern. Maka ibarat Burung Rajawali dengan Burung Perkutut perbandingannya. Solusinya adalah agar semakin banyak Bagawat-Bagawat kita yang menyadarinya dan memperteguh iman, taqwa dan doa meminta pertolongan Allah SWT. Tiadalah manusia itu mampu mengusir anak cucu syaitan, apalagi godfathernya syaitan kecuali atas pertolongan Allah SWT. Amiin.

Paralogos:
Wahai ...transenden...mengapa engkau lebih suka mengomentari keadaan para Bagawat Posmo dan perilakunya, padahal aku menyaksikan bahwa engkau itu sungguh hidup dan produk masyarakat paling banter sebagian Modern. Aku juga melihat bahwa dalam dirimu itu masih melekat sifat-sifatnya masyarakat Tribal dan masyarakat Tradisional. Bukankah sesungguh-sungguh yang terjadi adalah bahwa engkau itu sangat dekat dengan persoalan masyarakatmu? Hemm...gerah rasanya mengikuti perkembangan keadaan yang ada. Ternyata yang namanya krisis itu telah melanda semua aspek kehidupan. Tidak ketinggalan aku sedang menyaksikan banyak para Bagawat dari berbagai ruang dan waktu juga mengalami krisis. Ada diantara mereka mengalami kebigungan, ada yang kesurupan, ada yang melakukan plagiat, ada yang menari-nari tak peduli lingkungan, ada yang euphoria menemukan kedudukan baru, ada yang sibuk bersembunyi dari segala kritik, ada yang terkejut dengan suasana baru kemudian stress, ada yang sibuk menggali parit untuk mengalirkan udara, ada yang sibuk mempertahankan kedudukan dengan berbagai cara, ada yang sibuk main paksa, ada yang sangat sibuk dan over loaded aktivitasnya, ada yang terbatuk karena terlalu lama menahan diri, ada juga meledak-ledak memprotes suasana yang dihadapinya. Ada Bagawat yang sedang terlena tetapi tidak merugikan orang lain, ada Bagawat yang sedang terlena dan dimanfaatkan orang lain, tetapi ada Bagawat yang terlena tetapi merugikan orang lain. Ternyata aku menemukan paling banyak para Bagawat sedang mengalami kebimbangan dan memilih lebih baik diam dari pada bicara atau bertindak. Jika keadaan ini diterus-teruskan, wah..keadaannya bisa semakin runyam. Bagawat ...itulah setinggi-tinggi pengemban ilmu atau logos. Jika para Bagawat mengalami krisis, aku tidak bisa membayangkan bagaimana nasib para Cantraka, para Rakata, dan para Cemani.

Transenden:
Wahai Paralogos...kalau begitu apa yang engkau pikirkan itu persis sama dengan apa yang aku pikirkan. Lalu..apa masalahnya?

Paralogos:
Saya ingin bertanya perihal krisis yang dihadapi para Bagawat?

Transenden:
Memahami krisis itu tergantung persepsi masing-masing. Aku juga dapat memberikan pemahamanku sendiri. Menurutku krisis itu adalah kesempatan.

Paralogos:
Apakah kesempatan itu?

Transenden:
Para Bagawat sedang berada di persimpangan jalan. Di persimpangan jalan itulah mereka mempunyai kesempatan, tetapi ketika datang kesempatan itu ternyata dia bersifat jamak. Ada kesempataku berbelok ke kiri, ke kanan, serong kiri, serong kanan, berbalik tetapi juga bisa terus jalan lurus. Anehnya, ada pula kesempatan untuk ragu-ragu bahkan diam doing nothing. Maka satu-satunya kepastian adalah bahwa para Bagawat mempunyai kesempatan memilih. Itulah harga yang selama ini mereka cari dan mereka perjuangkan. Tetapi ingin aku katakan bahwa tidak memilih pun merupakan kesempatanku.

Paralogos:
Mohon diterangkan lebih lanjut perihal kesempatan?

Transenden:
Kesempatan adalah kemerdekaan. Kesempatan adalah potensi sekaligus fakta. Maka sebenar-benar hidup adalah kesempatan. Jikalau seseorang sudah tidak mempunyai kesempatan maka tiadalah dia dapat dikatakan sebagai hidup. Maka jikalau kamu menginginkan tetap hidup maka gapailah kesempatan itu.

Paralogos:
Lalu apa relevansinya kesempatan itu dengan krisis yang dialami para Bagawat?

Transenden:
Hidupmu adalah karena hidupnya orang lain. Jika tiadalah orang lain hidup disekitarmu, maka siapakah yang akan mengatakan bahwa dirimu hidup. Oleh karena itu maka wajib hukumnya bahwa engkau sebagai Bagawat harus selalu menghidup-hidupkan murid-muridnya dan masyarakatnya. Murid-muridnya dan masyarakatnya yang hidup itulah yang akan menyanyikan bahwa dirimu juga hidup. Maka sebenar-benar hidup adalah hidup dan saling menghidupkan.

Paralogos:
Lho..jadi ternyata ada kaitannya antara krisis, kesempatan dan hidup?

Transenden:
Jika engkau telah benar-benar hidup dan telah benar-benar hidup dan menghidupkan, maka tiadalah sesuatu di dunia ini yang tidak kait berkait. Maka kesempatan itu sebenarnya adalah hidup dan hidup itu adalah kesempatan. Semua yang ada di dunia itu kait berkait, dan itu adalah karena pikiranmu yang hidup. Maka jikalau engkau ingin melihat dunia, maka tengoklah ke dalam pikiranmu, karena dunia itu persis seperti apa yang engkau pikirkan. Demikian juga bagi para Bagawat.

Paralogos:
Wahai Transenden...bagaimana dengan sifat Bagawat yang mempunyai kuasa, paling tidak kuasa diberi amanah untuk mengemban ilmu?

Transenden:
Kesempatan itu adalah keadaan. Kesempatan itu adalah sifat. Kesempatan adalah keadaan di mana suatu sifat tidak tertutup oleh sifat yang lain. Jika suatu sifat menutup sifat yang lain, maka sifat yang menutup dikatakan “menentukan” dan sifat yang tertutup dikatakan “ditentukan”.

Paralogos:
Apa relevansinya sifat menentukan dan sifat ditentukan dengan kekuasaan para Bagawat?.

Transenden:
Menentukan dan ditentukan itu adalah hubungan kuasa yang satu dengan tidak kuasa yang lain. Bukankah sudah pernah aku katakan bahwa para bagawat itu kuasa terhadap murid danmasyarakatnya,. Di sadari atau tidak disadari, disengaja atau tidak disengaja, maka para Bagawat itu adalah kuasa untuk menutup sifat murid-muridnya, pengikutnya dan masyarakatnya. Sedangkan murid-muridnya, pengikutnya dan masyarakatnya tidak kuasa untuk menghindar dari sifat menutup para Bagawat. Padahal sebenar-benar orang yang paling berbahaya di dunia ini adalah mereka yang sangat menikmati kegiatannya menutipi sifat-sifat yang lainnya. Maka para Bagawat seperti halnya orang-orang yang lainnya dapat sangat berbahaya bagi murid-muridm, pengikut dan masyarakatnya jika mereka sangat menikmati kegiatannya menutupi sifat mereka. Maka sebenar-benarnya tidak hidup adalah jika sifat-sifatnya tertutup oleh sifat yang lain.

Paralogos:
Mohon apakah bisa diterangkan lebih detail lagi karena menurut saya sangat penting.

Transenden:
Bagawat yang baik adalah Bagawat yang mampu hidup dan menghidup-hidupkan murid-murid, pengikut dan masyarakatnya. Maka janganlah sekali-kali keberadaannya dan kegiatannya sebagai Bagawat menutup sifat-sifat mereka. Karena sifat yang tertutup itulah sebenar-benar tiada kesempatan. Ciri-ciri seorang Bagawat menutup sifat-sifat murid-murid, pengikut dan masyarakatnya adalah jika dia secara sepihak mendiskripsikan ciri-cirinya. Jika mereka katakan muridnya sebagai malas, padahal dia belum tentu malas, maka yang demikian itu Bagawat telah menutupi sifatnya. Jika dia katakan bahwa muridnya bodoh, padahal belum tentu dia bodoh, maka yang demikian itu telah menutupi sifatnya. Jika mereka katakan bahwa muridnya tidak berkarakter maka itulah keadaan Bagawat yang sedang menutupi sifat-sifatnya. Jika secara sepihak Bagawat mengklaim bahwa untuk membangun karakter murid-muridnya harus melalui pemaksaan, maka itulah kegiatan mereka sedang menutup sifat-sifat murid-muridnya. Ketika mereka bicara sementara muridnya mendengar, maka itu adalah proses menutupi sifat-sifatnya. Ketika mereka bekerja sementara muridnya melihat, maka itu adalah proses menutupi sifat-sifatnya. Ketika mereka bertanya sementara muridnya berusaha menjawab maka itu adalah proses menutupi sifat-sifatnya. Ketika Bagawat berinisiatif sementara muridnya menunggu, itu adalah proses menutupi sifat-sifatnya. Ketika Bagawat menyuruh sementara muridmu melaksanakannya maka itu adalah proses menutupi sifat-sifatnya. Ketika Bagawat menilai prestasi siswanya maka itu adalah kejadian lain dari kegiatan mereka menutupi sifat-sifatnya. Maka adalah sungguh berdosalah bagi orang-orang yang gemar menutupi sifat orang lain, karena yang demikian dampaknya begitu besar bagi murid-muridnya. Bahkan aku bisa katakan bahwa menutupi sifat itu tidak lain tidak bukan adalah pembunuhan secara perlahan-lahan. Waspadalah.....karena dengan begitu maka maksudmu membangun karakter bisa saja berakibat justru membunuhnya.

Bagawat:
Sebentar...bolehkah aku ikut bertanya wahai Transenden. Jikalau sebaliknya, maksudku justeru yang melakukan atau yang menutui sifat itu murid, yaitu muridku menutupi sifat gurunnya aku sang Bagawat, bukankah itu sama dosanya.

Orang tua berambut putih:
Itulah sebenar-benar hakekat kesempatan, hakekat sifat dan hakekat kuasa. Sifat-sifat dari orang berkuasa adalah lain pula sifatnya dengan sifat-sifat orang yang tidak atau kurang berkuasa. Jikalau muridmu bicara dan kamu mendengarkan, maka itu bukanlah muridmu sedang menutupi sifatmu, tetapi itulah engkau sedang memberikan kesempatan kepadanya. Jikalau muridmu bertanya dan engkau menjawab, maka itu bukanlah muridmu sedang menutupi sifatmu, tetapi itulah engkau sedang memberikan kesempatan kepadanya. Jikalau muridmu berinisiatif dan engkau menunggu, maka itu bukanlah muridmu sedang menutupi sifatmu, tetapi itulah engkau sedang memberikan kesempatan kepadanya. Jikalau muridmu melakukan kegiatan sementara engkau menontonnya, maka itu bukanlah muridmu sedang menutupi sifatmu, tetapi itulah engkau sedang memberikan kesempatan kepadanya. Demikian seterusnya. Jadi sifat memberi kesempatan dan sifat menutup sifat, adalah berbeda-beda sifatnya sesuai domisilinya, apakah dalam orang yang berkuasa atau dalam orang yang dikuasai. Ituykah usahamu menggapai kesempatan.

Bagawat:
Kenapa engkau sebut aku sebagai Bagawat menggapai kesempatan. Padahal sesuai dengan uraianmu mestinya aku lebih tepat kalau kau sebut sebagai Bagawat memberi kesempatan.

Transenden:
Itulah ujianku terhadap dirimu. Kalau itu adalah engkau sendiri yang mengatakan maka baiklah untuk dirimu. Tetapi jikalau aku yang mengatakan maka tidak baiklah untuk dirimu. Mengapa? Karena dengan demikian aku telah menutupi sifatmu.

Bagawat:
Oh ..Transenden, mohon maaf, bukankah Transenden telah berbuat kontradiktif, ambivalensi atau bertentangan di dalam dirimu sendiri sendiri. Di dalam Agama itu disebut sebagai munafik. Bagaimana menurutmu?

Transenden:
Benar ucapanmu. Sampai di sini aku merasa terharu walau mungkin kamu tidak demikian. mengapa karena engkau mulai menyadarinya. Sampai di sinilah aku akan katakan sesuatu yang tidak bisa aku katakan sebelumnya.

Bagawat:
Apa itu guru? Tolong jelaskan. Aku menjadi penasaran dibuatnya.

Transenden:
Benar ucapanmu. Ketika aku berbicara panjang lebar kepadamu, maka aku sedang dalam proses menutupi sifat-sifatmu. Padahal aku sedang berbicara memberi kesempatan. Jadi aku tidak bisa memberi kesempatan tanpa menutupi sifat-sifatmu. Maka aku tidak bisa terhindar dari pertentangan dalam diriku. Jikalau engkau sensitif dan peka maka dapat aku katakan “pertentangan” itulah sebenar-benar hakekat hidup itu.

Bagawat:
Oh Transenden mengapa demikian. Mengapa aku capai-capai mengikuti penjelasanmu ternyata engkau hanyalah sebuah kontradiksi. Oh Tuhan ampunilah aku, ya Tuhan. Guru macam apalah engkau ini. Kenapa engkau mengajariku banyak hal padahal engkau sendiri adalah kontradiksi. Aku sudah tidak bisa lagi menangis. Air mataku sudah kering. Lalu aku harus bagaimana?

Transenden:
Tenang dan sabarlah. Karena ciri-ciri orang cerdas adalah jika dia bisa mengendalikan secara proporsional perasaannya.

Bagawat:
Saya harus sabar bagaiman guru? Bukankah selama ini kau telah menipuku. Menipuku secara besar-besaran. Maka tiadalah ampun bagimu, wahai guruku.

Transenden:
Padahal apa yang akan aku katakan justeru lebih berat dari itu. Sudah saya katakan berkali-kali bahwa diriku tidak lain tidak bukan adalah pengetahuanmu. Telah terbukti bahwa diriku tidak bisa terhindar dari pertentangan, maka dapat aku katakan bahwa bahwa sebenar-benar ilmumu itu adalah pertentangan atau kontradiksi. Tiadalah suatu ilmu tanpa kontradiksi, karena jika tidak ada kontradiksi maka itu berarti berlaku hukum identitas. tetapi dengan hukum identitas kita tidak akan mendapat ilmu apa-apa. Karena A adalah A itulah hukum identitas. “Aku” adalah “Aku” itu juga hukum identitas. Ketahuilah bahwa kalimat “Saya adalah guru” itu sebenar-benar kontradiktif dalam filsafat. Mengapa? Itu adalah kontradiktif dan tetap kontradiktif sampai engkau dapat membuktikan bahwa “Saya” itu identik atau persis saama dengan “guru”. Padahal kita tahu bahwa “saya” tidaklah sama dengan “guru”. “saya” mempunyai sifat-sifat yang berlainan dengan “guru”. Demikian pula bahwa “2+3=5” adalah juga kontradiktif secara filsafati mengapa, karena sebenar-benar bahwa “2+3” belumlah sama dengan “5” sebelum engkau mampu membuktikannya. Engkau tidak dapat mengatakan 2 buku ditambah 3 pensil sama dengan 5 buku. Kenapa? itulah karena buku dan pensil adalah dua ruang yang berbeda.

Bagawat:
Wahai guru, aku belum bisa menerima penjelasanmu itu. Karena guruku yang lain mengatakan “Jagalah hatimu dan jangan sampai ada pertentangan di situ. Jika terdapat satu saja pertentangan di hatimu, maka itu pertanda syaitan duduk di situ”. Kalau begitu apakah engkau sedang mengajarkan ilmunya syaitan kepadaku guru?

Transenden:
Benar pertanyaanmu dan benar pula ucapan gurumu yang lain itu. Sedari awal yang aku bicarakan adalah tentang dirimu dan diriku. Berkali-kali aku katakan bahwa diriku adalah ilmumu. Ilmumu adalah pikiranmu. Jadi sebenar-benar aku adalah pikiranmu. Jadi konradiksiku adalah kontradiksi dalam pikiranmu. Barang siapa ingin memperoleh ilmu dalam pikirannya, maka bersiaplah dia menemukan kontradiksi-kontradiksi itu.

Bagawat:
Terus bagaimana dengan hatiku ini guru?

Transenden:
Hatimu adalah jiwamu. Hatimu adalah hidupmu. Hidupmu tidak lain tidak bukan adalah hatimu. Maka barang siapa baik hatinya maka baik pula hidupnya. Dan barang siapa buruk hatinya maka buruk pula hidupnya. Sebenar-benar hatimu itu adalah satu, yaitu rakhmat Nya. Maka hatimu tidak lain tidak bukan adalah ibadahmu. Sebenar-benar hatimu adalah doa-mu. Jadi tiadalah pertentangan dan keragua-raguan di sana. Barang siapa membiarkan adanya pertentangan dan keragu-raguan di hati maka syaitan lah yang akan menghuni hatinya. Maka dengan tegas aku katakan jagalah hatimu jangan sampai ada pertentangan ataupun kontradiksi.

Bagawat:
Hah.. itulah sebenar-benar ilmuku guru. Oh Tuhan ampunilah segala dosaku. Aku telah berbuat durhaka kepada guruku. Kenapa guruku yang begitu hebat telah aku sumpah serapah. Manusia macam apakah aku ini ya Tuhan. Kiranya engkau cabut nyawaku sebagai tebusannya, maka ikhlaslah aku. Wahai guruku, sudilah engkau memaafkan diriku, dan sudilah aku masih tetap bersamamu.

Transenden:
Itulah sebenar-benar ilmu. Itulah sebenar-benar rakhmat. Yaitu jikalau engkau menyadari kelemahanmu dan selalu mohon ampun ke hadlirat Nya. Untuk meningkatkan profesionalismemu maka belajar dan selalu belajarlah, membaca dan selalu membacalah, bertanya dan selalu bertanyalah, berdoa dan selalu berdoalah. Inilah sebenar-benar kesempatan itu. Maka raihlah kesempatan itu. Tetapi janganlah salah paham karena sebenar-benar Bagawat menggapai kesempatan adalah jika dia dapat selalu hidup dan menghidupkan murid-muridnya. Maka sebenar-benar Bagawat menggapai kesempatan adalah jika murid-muridnya sebenar-benar menggapai kesempatan pula. Maka sebenar-benar hidup adalah memberi dan diberi kesempatan. Itulah amanah yang telah aku berikan kepadamu wahai para Bagawat, yaitu membangun hidup dunia dan akhiratmu agar engkau dapat pula membangun hidup dunia dan akhirat para muridmu pula.

Amiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar