Selasa, 13 Desember 2011

Elegi Ketika Sekali Lagi Pikiranku Tak Berdaya

Oleh Marsigit

Pikiranku:
Oh...hoh... kalau tidak salah itu yang namanya Fatamorgana. Hem...sekali lagi dia berusaha menggodaku. Jelas-jelas dia memang bermaksud menguji pikiranku. Wahai Fatamorgana...agar aku mampu memecahkan misterimu...maka bersedialah engkau berkomunikasi denganku?

Fatamorgana:
Aku mempunyai caraku sendiri dalam berperilaku sebagai Fatamorgana. Jika aku tunduk dengan perintah-perintahmu maka tidaklah lagi aku bernama Fatamorgana.

Pikiranku:
Waha...tahu saja aku akan dirimu. Wahai Fatamorgana...engkau itu sebetulnya adalah Intuisiku.

Intuisiku:
Selamat aku ucapkan kepada dirimu, bahwasanya engkau itu hampir saja bisa menangkap Fatamorgana. Tetapi ketahuilah bahwa intuisimu itu hanya sebagian dari sifat Fatamorgana itu. Adalah tidak adil bahwa sifat yang sebagian itu engkau peruntukan untuk menamakan keseluruhan. Jika Intuisi adalah Fatamorgama, maka belum tentu Fatamorgana itu Intuisi.

Pikiranku:
Welah...ternyata belum pas juga. Baiklah Fatamorgana, sekarang pasti aku akan benar. Melihat gejalamu maka engkau itu tidak lain tidak bukan adalah Etik dan Estetika.

Etik dan Estetika:
Wahai Pikiran, ketahuilah bahwa Etik dan Estetika itu bisa bersifat pribadi, kelompok atau universal. Lihatlah Fatamorgana itu! Dengan lincahnya dia itu berlari-lari dari pribadi, menuju kelompok, menuju universal atau sebaliknya. Padahal dirimu tidak bisa menunjuk ruang dan waktunya Fatamrgana sekarang itu. Maka adalah terlalu gegabah jika engkau menunjuk dia hanya sebagai Etik dan Estetika. Jika Etik dan Estetika adalah Fatamorgana, maka belum tentu Fatamorgana itu Etik dan Estetika.

Pikiranku:
O..iya ya. Hemm...aku belum akan menyerah. Tetapi mengapa engkau tidak pula segera pergi dariku? Ah ini pasti aku akan betul. Wahai Fatamorgana engkau itu pastilah Superegoku.

Superego:
Wahai Pikiranku...pusat pengendalian Superegomu itu adalah pada Egomu. Ketahuilah bahwa Egomu itu hanyalah sebagian kecil saja dari pengendalian Fatamorgana ini. Maka tiadalah tepat jika engkau katakan bahwa Fatamorgana itu adalah Superegomu. Jika Superego adalah Fatamorgana maka belum tentu bahwa Fatamorgana itu Superego.

Pikiranku:
Wahai Fatamorgana engkau itu tidak lain tidak bukan adalah Bayanganku sendiri?

Bayangan:
Wahai Pikiran...lihatlah di sebelah sana! Ada bagian Fatamorgana tidak selalu mengikuti dirimu. Bagaimana mungkin Fatamorgana adalah hanya bayanganmu jika sebagian sifatnya adalah ternyata bayangan orang lain. Jika Bayanganmu adalah Fatamorgana, maka belum tentu Fatamorgana itu adalah bayanganmu.

Pikiran:
Wahai Fatamorgana kurangajar betul engkau itu, telah membuat marah pikiranku. Engkau itu kan cuma Fenomena. Hanya Fenomena saja, kok sombongnya luar biasa.

Fenomena:
Wahai Pikiran...ketahuilah bahwa menurut Immanuel Kant, Fenomena adalah sesuatu obyek yang bisa dipersepsi dengan panca indera. Sedangkan ada dari bagian Fatamorgana, tidak dapat dipersepsi menggunakan panca indera. Itulah yang disebut Noumena. Jika Fenomena adalah Fatamorgana maka belum tentu bahwa Fatamorgana itu Fenomena.

Pikiran:
Wahaha....haha....mau minteri orang pinter ya kamu! Alasanmu itulah sebenar-benar telah menunjukkan bahwa misteri itu telah terungkap. Kan... kalau begitu...ya gampang saja....Singkat kata Fatamorgana ya sekaligus Fenomena dan Noumena, ...gitu aja kok repot.

Fenomena dan Noumena:
Wahai Pikiran..aku menyayangkan sifatmu yang sombong. Kesombonganmu itulah penyebab engkau termakan mitos. Ketahuilah bahwa teori Fenomena dan Noumena itu kan hanya teorinya seorang Immanuel Kant. Kenapa engkau serahkan hidupmu seribu persen kepada teori itu. Bukankah hal yang demikian menunjukkan bahwa sebenar-benar dirimu itu adalah telah mati, dikarenakan tidak mampu lagi berpikir kritis. Pendapat seseorang adalah suatu tesis, maka wajib hukumnya bagi pikiran kritis untuk mencari anti-tesisnya. Jika Fenomena dan Noumena adalah Fatamorgana maka belum tentu Fatamorgana itu adalah Fenomena dan Noumena.

Pikiran:
Wah heh huh hah kok kak tut tat tit tut tat tit weil weil thong thong shot...udah-udah pergi sana aku tidak butuh lagi memikirkanmu.

Fatamorgana:
Hemhem...sudah sampilah pada saatnya engkau itu tak berdaya.

Pikiran:
Woh...nanti dulu. Aku merasa gengsi kalau tidak bisa memecahkan misterimu itu. Tetapi segenap daya dan upaya pikiranku ternyata tak mampu memecahkan Fatamorgana ini. Wahai Hatiku telah sampailah diriku itu dipenghujung batasku. Padahal penghujung batasku itu adalah Hatiku. Bolehkah aku meminta bantuan dirimu untuk memecahkan misteri siapakah Fatamorgana didepanku itu?

Hatiku:
Ketahuilah wahai Pikiranku, bahwa tidaklah mungkin dirimu mampu mengetahui segala seluk beluk Hatimu. Sedangkan kalimatmu itupun tidak mampu mengucapkan dan menuliskan segala pikiranmu. Tindakanmu tidak akan mampu menjalani semua tulisamu. Bagaimana mungkin aku bisa menjelaskan Fatamorgana ini hanya dengan kalimat-kalimatmu itu, kata-katamu, dan tulisan-tulisanmu? Sedangkan diriku itu pun tidak seluruhnya mampu merasakan Fatamorgana. Maka tidaklah cukup jika engkau hanya mengandalkan Hatimu sendiri. Ujilah dengan Hati para subyek diri yang lain. Jika Hatimu adalah Fatamorgana, maka belum tentu Fatamorgana itu adalah Hatimu.

Hati Subyek Diri yang Lain:
Sebentar dulu...emangnya urusanku hanyalah Fatamorganamu. Sedangkan akupun sedang menghadapi Fatamorgana yang lain. Fatamorgana diriku saja aku sulit memecahkan, apalagi Fatamorgana dirimu. Hati pertama: ketahuilah bahwa Fatamorgana itu dapat bersemayam di setiap hati manusia. Hati kedua:ketahuilah bahwa Fatamorgana itu dapat bersemayam di setiap pikiran manusia. Hati ketiga: ketahuilah bahwa Fatamorgana dapat berada diluar hati atau diluar pikiran.

Pikiranku:
Wahai para Hati...cukup-cukup. Tidak mau menjelaskan Fatamorganaku malah bertengkar sendiri. Okey...saya akan bertanya kepada Nasibku. Wahai Nasibku...tinggal dirimulah aku meminta tolong. Apa dan siapakah Fatamorgana ini?

Nasibku:
Wahai Pikiran...sebagian Nasibmu itu adalah tersembunyi sifatnya. Jika engkau mengetahui semua nasibmu, maka hal demikian bertentangan dengan hakekat dirimu sebagai manusia. Ketahuilah bahwa nasibmu itu ternyata bisa pula menjadi Fatamorgana. Jika Nasibmu adalah Fatamorgana, maka belum tentu bahwa fatamorgana itu adalah Nasibmu. Adalah hanya ditangan Allah SWT segala Nasibmu itu berada. Lahir, mati dan jodhoh itu ada ditangan Tuhan. Manusia itu hanya bisa ikhtiar dan berdoa. Maka sekecil-kecil dan sebesar-besar persoalanmu itu serahkan saja kepada Tuhan. Berdoalah dengan tawadu’ dan ikhlas. Allah SWT akan selalu mendengar doa orang yang ikhlas. Amiin

Pikiranku:
Hemm...baru kali ini Pikiranku mendapat persoalan yang begitu besar dan hebat. Baiklah aku akan bertanya kepada Doaku. Wahai doaku, bersediakah engkau menjelaskan kepada diriku apa dan siapa Fatamorgana ini?

Doaku:
Oh...pikiran...pikiran...sombong dan bengal amat engkau itu. Bukankah sudah banyak peringatan bagi dirimu bahwa dirimu itu hanyalah bersifat terbatas. Tiadalah hukumnya doa bisa dicampur dengan pertanyaan. Bagaimana bisa engkau berdoa sementara engkau masih mengajukan pertanyaan-pertanyaan? Tetapi mengapa engkau selalu saja berusaha ingin memecahkan misteri Fatamorgana ini. Ketahuilah bahwa dalam Doamu itu ada tempatnya di mana pikiranmu harus berhenti.

Pikiranku:
Hah...apa? Pikiranku harus berhenti? Bukankah jika Pikiranku harus berhenti maka matilah diriku itu. Wahai Doaku...apakah engkau menginginkan lebih baik Pikiranku mati dari pada aku bisa memahami Fatamorgana ini?

Doaku:
Oh...Pikiran-pikiran. Berhentinya Pikiran itu tidaklah harus bahwa dirimu itu mati. Ketahuilah bahwa Pikiranmu itu juga mati sementara ketika engkau tidur. Tentulah bahwa Pikiranmu itu juga mati jika dirimu mati. Ketahuilah sekedar memperoleh jelasnya sesuatu saja, sudah dapat dikatakan bahwa pikiranmu telah mati. Atau jika pikiranmu sedang memikirkan A, maka matilah pikiranmu terhadap B. Maka bukankah Pikiranmu itu juga harus mati ketika engkau berdoa secara ikhlas dan khusuk. Maka tiadalah Doamu itu ikhlas dan khusyuk jika engkau dalam keadaan mengembarakan Pikiranmu itu. Sampai di sini apakah engkau belum paham bahwa sebenar-benar Pikiranmu itu tidaklah berdaya memecahkan fatamorgana ini. Jangankan Pikiranmu, sedangkan Hatimu saja tak kuasa melakukan hal yang sama. Maka sekali lagi tiadalah Pikiranmu itu mampu memecahkan setiap persoalan hidupmu. Sadarlah bahwa sudah saatnya engkau mengakui bahwa sebenar-benar Pikiranmu itu tak berdaya memecahkan misteri Fatamorgana. Berserahlah keharibaan Allah SWT seraya berdoa dengan ikhlas dan khusyuk, semoga Allah SWT selalu melimpahkan rakhmat dan hidayah Nya. Amiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar