Jumat, 16 Desember 2011

Elegi Menggapai Pikiran Jernih

Oleh Marsigit

Berikut saya nukilkan pertanyaan Sdr Dyah Wahyuningsih:

Ass.wrwb,

Bapak yang terhormat,dalam mempelajari filsafat kita memerlukan hati dan pikiran yang jernih.
Agar kita dapat memahami apa yang kita pelajari tersebut,lalu bagaimanakah agar hati dan pikiran kita tetap jernih?
Karena jika hati dan pikiran kita tidak jernih rasanya akan sulit memahami segala sesuatu.

Wass.wrwb

Jawaban saya (Marsigit):

Sdr Dyah Wahyuningsih, saya selalu membedakan antara kegiatan hati dan pikiran

Untuk saat ini saya akan menguraikan dulu jernihnya pikiran dalam kaitannya mempelajari filsafat.

Berfilsafat adalah kegiatan refleksi diri terhadap pikiran kita.

Dalam melakukan kegiatan refleksi diri dengan pikiran, kita dapat mengibaratkan pikiran kita sebagai cermin.

Tetapi ternyata jika hanya pikiran yang menjadi cermin, lalu bagaimana dengan obyek pikiran?

Maka aku telah menemukan bahwa semua yang aku pikirkan, yaitu semua yang ada dan yang mungkin ada pada hakekatnya adalah cermin juga.

Maka dalam berfilsafat, atau dapat saya katakan dalam berpikir refleksif, saya harus mampu menggunakan semua yang ada dan yang mungkin ada , termasuk pikiran dan hatiku, itu sebagai cermin.

Maka kata-katamu atau istilahmu “pikiran jernih” dapat saya ibaratkan sebagai “cermin yang bersih”.

Artinya saya telah menemukan bahwa, baik pikiran maupun yang aku pikirkan keduanya haruslah sebagai cermin yang bersih, atau sesuatu yang jelas.

Jernihnya pikiran atau bersihnya cermin atau jelasnya pikiran, itulah yang di dalam filsafat disebut sebagai “pure reason” atau “pikiran murni” atau “budi murni”.

Di dalam Ilmu Jiwa “pure reason” itu setara atau dapat dikatakan sebagai “tidak prejudice”.

Di dalam Elegi-elegi, itulah yang disebut sebagai “menggapai logos” atau “menggapai bukan mitos”.

Padahal aku mengetahui bahwa “semua pikiranku jika aku telah berhenti memikirkannya maka serta merta dia akan berubah menjadi mitos”.

Sedangkan “semua obyek pikiranku jika aku akan memulai memikirkannya maka dia serta merta akan menggapai logos”

Maka aku menemukan bahwa dalam berpikir, yang terjadi hanyalah pertempuran antara “mitos” dan “logos” saja.

Maka aku telah menemukan bahwa segala macam mitos itulah kotoran yang menyebabkan pikiranmu tidak jernih atau cerminmu menjadi kotor.

Sedangkan alat untuk membersihkan pikiranmu serta obyek-obyek pikiranmu adalam “pure reason” atau “menggapai logos” atau “tidak prejudice”.

Pengertian “prejudice” di dalam filsafat tidaklah serta merta berarti jelek dalam ilmu bidang seperti psikologi, melainkan “segala yang ada dan yang mungkin ada yang sedang mulai berhenti engkau pikirkan itulah prejudice, itulah tidak pure-reason, itulah tidak menggapai logos, itulah mitos, itulah kotoran cermin, itulah pikiran tidak jernih”.

Dalam perjalanan filsafat dan para filsuf, untuk mencapai keadaan seperti itu tidaklah mudah.

Dalam rangka menggapai logos, maka Socrates mengembangkan metode dialektik kritis.

Dala rangkan menggapai pikiran jernih, maka Plato membuat tangga keluar dari Gua Plato

Dalam rangka menggapai bukan mitos, maka Aristoteles mengembangkan logika dan sillogisma.

Dalam rangka menggapai pikiran jernih, maka Descartes berusaha mencari “kepastian pikir” dengan cara “meragukan semua yang ada dan yang mungkin ada”.

Rene Descartes berhasil menemukan “pikiran jernih “ yaitu “kepastian pikir” yaitu “pikiran yang tidak dapat dibantah lagi” yaitu ternyata bahwa “satu-satunya hal yang tidak dapat dibantah adalah fakta bahwa dirinyalah itu pasti adanya yaitu dirinya yang sedang BERTANYA atau BERPIKIR”.

Maka Rene Descartes menemukan bahw “cogito-ergosum” adalah satu-satunya pikiran jernih atau kepastian pikiran, yaitu bahwa “dia ada dikarenakan dia sedang bertanya”.

Itulah hukum yang ditemukan seorang Rene Descartes, bahwa jika engkau tidak mampu mengajukan pertanyaan maka akan terancam hidupmu, yaitu akan termakan ketiadaan.

Itulah sekarang maka saya juga sedang membuktikan bahwa dirimu itu ternyata ada, karena engkau telah mengajukan pertanyaan kepada diriku.

Sedangkan penjelasanku atas pertanyaanmu itulah sebenar-benar ilmuku.

Dalam rangka menggapai pure-reason, maka Immanuel Kant mensintesiskan resionalisme dan empiricisme.

Maka pikiran jernih bagi Immanuel Kant adalah “sintetik a priori”, itulah hakekat berpikir, itulah hakekat logos menurut dia.

Dalam rangka menggapai pikiran bersih maka Moore membuat filsafat bahasa sebagai "common sense".

Dalam rangka menggapai pikiran jernih, maka Auguste Comte sampai-sampai membuat Bendungan Compte (Bacalah Elegi Bendungan Compte".

Dalam rangka menggapai pikiran jernih, maka Sir Bertrand Russell sampai-sampai terperangkap di rumah paradox (Bacalah Elegi Rumah Paradox)

Dalam rangka menggapai pikiran jernih maka Socrates, Galileo dan Bruno sampai mengorbankan jiwanya.

Dalam rangka menggapai tidak prejudice, maka Husserl mengembangkan Phenomenology. Husserl sampai-sampai membuat rumah yang dia sebut sebagai “epoche” sebagai penjaranya bagi para mitos.

Maka agar memperoleh kejernihan terhadap apa yang dipikirkan, maka segala macam pengetahuan awal tentang yang akan dipikirkan itu dia anggap sebagai mitos dan dimasukkan di dalam penjara “epoche”.

Maka Husserl menemukan bahwa si makhluk jernih atau jernihnya pikiran itu tidak lain adalah 2 (dua) serangkai “abstraksi” dan “idealisasi”. Itulah yang kemudian digunakan oleh para matematikawan untuk memikirkan “konsep-konsep matematika”.

Obyek matematika adalah benda-benda pikir yang diperoleh dari benda-benda nyata dalam kehidupan sehari-hari dengan cara membersihkannya dengan metode “abstraksi” dan “idealisasi”.

Abstraksi adalah hanya memikirkan sifat-sifat tertentu saja. Misalnya bersihnya pikiran tentang “kubus” maka hanya dipikirkan tentang bentuk dan ukurannya saja. Segala macam sifat yang ada dan yang mungkin ada misalnya, harganya, bahannya, baunya, warnanya, ...semuanya dimasukkan di dalam “epoche”, artinya tidak diperhatikan.

Idealis adalah menganggap sempurna sifat yang ada. Ketahuilah bahwa tiadalah sifat sempurna di dunia ini. Tiadalah barang yang lancip di dunia ini. Ujung jarung adalah atom yang lintasannya melingkar, maka tidaklah lancip unjung jarum itu. Maka di dalam matematika sifat yang ada “dianggap sempurna”, lancip ya lancip betul, lurus ya lurus betul, datar ya datar betul, dst. Itulah idealisasi.

Ternyata aku telah menemukan bahwa pertanyaanmu tentang “pikiran jernih” itu sebetulnya persoalan filsafat khusunya epistemologi atau filsafat ilmu yang merupakan perjuangan para filsuf sejak awal hingga akhir.

Itulah mengapa aku merasa perlu segera menjawabnya. Maka uraianku semua di atas tidak lain tidak bukan adalah filsafat ilmu atau filsafat itu sendiri. Jika engkau mampu berpikir jernih, maka semua Elegi-elegi yang aku tulis itu sebetulnya adalah epistemologi atau metode berpikir atau pikiran jernih.

Demikian mudah-mudahan engkau dan teman-temanmu jernih pula dalam membaca jawabanku.

Amiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar