Sabtu, 31 Desember 2011

Forum Tanya Jawab 62: Incommensurability

Oleh Marsigit

Saya sampaikan pengalaman pribadi sebagai berikut:

Langganan Internet unlimited di Indonesia kira-kira biayanya Rp 350.000,- per bulan. Jika seorang Dosen dengan Gaji sebesar Rp. 3.500.000,- per bulan, maka diperlukan sepersepuluh Gaji untuk biaya langganan Internet. Pengalaman saya di Thailand menggunakan jasa Internet dengan Roaming Internasional terkena biaya kira-kira Rp 3.500.000,- untuk penggunaan 5 (lima) jam. Artinya, Gaji 1 (satu) bulan seorang Dosen di Indonesia, hanya cukup untuk membayar 5 (lima) jam Internet International Roaming di Thailand. Jadi agar bisa hidup layak menggunakan Internet Roaming Internasional di Thailand selama 1 (bulan) dengan 5 (lima) jam nginternet, diperlukan biaya 30 x Rp 3.500.000,- = Rp 105.000.000,- (seratus lima juta rupiah). "Seratus lima juta rupiah" itulah angka kecukupan wajar (gaji perbulan mestinya), bagi seorang Dosen Indonesia jika dia ingin secara wajar bisa melakukan pergaulan Internasional. Itupun jika hanya diukur dari kebutuhan akses internet saja. Ditinjau dari sisi Ekonomi, maka secara kasar kemampuan Bangsa Indonesia hanyalah sepertigapuluh dari negaranya Sang Power Now. Betapa Mahal biaya yang diperlukan oleh orang Indonesi untuk pergi ke Luar Negeri; sebaliknya betapa Murah orang Luar Negeri jika ingin berkunjung ke Indonesia. Itulah salah satu Kendala betapa besar pengorbanan Bangsa Indonesia jika ingin bergaul secara SETARA dengan bangsa-bangsa lain. Tetapi ternyata yang terjadi, lebih banyak dan memang demikianlah, yaitu kita hanya mampu bergaul secara Tidak Setara Secara Ekonomi dengan Bangsa lain. Contoh Pergaulan yang Tidak Setara adalah Kita menjadi TKW atau TKI di negara-negara lain. Suka duka menjadi Bangsa TKW atau TKI tentu dapat dibaca atau diikuti setiap hari di Media Masa. Oh nasib Diriku, oh nasib Bangsaku. Kenapa demikian?

Dalam Filsafat, kasus di atas itulah yang disebut sebagai Incommensurability, yaitu Dua Jenis Ukuran Dengan Skala yang Berbeda yang digunakan untuk mengukur Hal yang sama. Fenomena ini sudah muncul sejak Jaman Phytagoras. Jika Pythagoras tidak menggunakan Ukuran yang Incomensurabel maka tidak akan ditemukan bilangan Irrasional. Pada Segitiga Siku-siku, satuan yang digunakan untuk mengukur panjang sisi siku-siku adalah Bilangan Bulat. Tetapi Bilangan Bulat tidak mampu mengukur Panjang Sisi Miring karena ternyata dia adalah Bilangan Irrasional.

Kembali ke contoh kasus dimuka, dapat disimpulkan bahwa Incommensurability yang terjadi adalah bahwa Kompetensi secara ekonomi kita Tidak Sepadan dengan Kompetensi Ekonomi negara seperti Thailand. Tenaga dan Pikiran kita hanya senilai sepertigapuluh dari Tenaga dan Pikiran mereka.

Yang agak mengkhawatirkan adalah adanya kecenderungan mengukur segala sesuatu yang kita punya dengan ukuran negara luar. Yang sedang dan sudah terjadi adalah banyak sekolah/universitas yang membayar dengan Dollar agar memperoleh pengakuan Luar Negeri (International Standard). Ratusan juta rupiah bagi kita adalah angka yang sangat besar, tetapi adalah angka yang relatif kecil jika diukur dengan Dollar. Maka juga terdapat Incommensurability terhadap Beban yang ditanggung oleh sekolah atau masyarakat kita (untuk meraih ISO atau Certificate Internationa misalnya) dibanding dengan imbalan jasa bagi diberikannya ukuran Standard yang akan mereka berikan, jika kita meminta Rekomendasinya.

Bukanlah suatu kebetulah bahwa Pythagoras menggunakan Incomensurability untuk menemukan Bilangan Irrasional. Sedangkan saya menggunakannya juga Incommensurability untuk menemukan betapa Irrationalnya (tidak masuk akal)kompetensi kita dibanding Sang Power Now. Itulah keadaan yang mereka suka; sedangkan pedih dan getir dirasakan oleh Bangsa Kita (tentu bagi yang bisa dan mau merasakannya).

Jika kita ekstensikan makna dari Incommensurability ini, ternyata saya menemukan bahwa Pikiran-pikiran Guru itu juga Incommensurabel dengan Pikiran-pikiran siswa. Maka seorang Guru yang cenderung memaksakan kehendak Berpikirnya kepada Siswanya, telah menggunakan Incommensurability untuk memaksakan ukuran dirinya agar berlaku bagi muridnya. Hal demikian juga menimbulkan dampak yang Irrasional (tak masuk akal). Maka benar pengakuan Ibu Karina, bahwa sebenar-benar orang paling berbahaya adalah Diriku yang selalu memaksakan kehendak pikirnya. Itulah juga incommensurability.Itulah sebabnya mengapa pada Pembelajaran yang Inovatif, maka adalah sangat penting bagi Guru untuk mengetahui Pikiran dan Kemampuan tiap-tiap siswanya.

Dalam perkuliahan Filsafat Ilmu ini maka komunikasi saya dengan mahasiswa melalui Blog dapat diartikan sebagai salah satu usaha saya untuk mengetahui Pikiran-pikiran mahasiswa. Maka komentar-komentar mahasiswa menjadi sangat penting adanya.

Demikianlah, silahkan dinantikan pendapatnya. Semoga bermanfaat.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar