Minggu, 30 Oktober 2011

Elegi Menggapai Pikiran Ikhlas

Oleh Marsigit

Berikut saya nukilkan pertanyaan dari Sdr Nurfita Handayani:

Ass.. dalam artikel bpk menuliskan setinggi-tingginya dunia dan akhirat adalah ikhlas adanya. untuk menujukan adanya keikhlasan dalam hati kita masing-masing, maka bagaimanakah kita menunjukan rasa ikhlas dalam ilmu filsafat?

Jawaban saya (Marsigit):

Ass..Purwanti RYA ..ikhlas dalam pikir dan ikhlas dalah hati, begitulah.
Uraian saya berikut saya fokuskan pada ikhlas dalam pikir. Sedangkan untuk ikhlas dalam hati mungkin diuraikan secara terpisah.

Jika yang engkau maksud ikkhlas dalam filsafat adalah ikhlas dalam pikir, maka sebenar-benar ikhlasnya pikiran adalah "pure reason".

Pure reason itu tidak lain tidak bukan adalah terbebas dari "prejudice".

Prejudice adalah pengetahuanmu juga. Jika aku katakan pengetahuanmu adalah hidupmu, maka "prejudice" adalah hidupmu juga.

Maka "menuju prejudice" adalah pegetahuanmu atau logosmu.

Sedangkan "menjadi prejudice" adalah mitosmu.

Maka "bukan prejudice" itu adalah anti-tesis dari prejudice, dan sebaliknya.

Jadi ikklas dalam pikiranmu adalah kesediaan dan kesiapanmu membuat anti-tesis dari pengetahuanmu.

Tidak hanya itu saja, ikhlas dalam pikiranmu juga kesediaanmu dan kesiapanmu membuat sintetis antara tesis dan anti-tesis.

Yang telah aku sebut itulah sebenar-benar ilmumu dan juga filsafatmu.

Maka aku telah membuktikan bahwa iklhas dalam pikir tidak lain tidak bukan ternyata adalah filsafat itu sendiri.

Jika engkau pikir filsafat adalah "bijak" mu maka ikhlas dalam pikir itu ternyata adalah juga "bijak" mu.

Itulah yang selama ini kita pelajari, kita diskusikan, aku buatkan elegi dan juga telah berusaha digapai oleh para filsuf besar dari jaman Yunani Kuno sampai jaman komtemporer sekarang.

Untuk kesekian kali aku telah membuktikan bahwa ilmu itu dimulai dengan pertanyaan.

Penjelasanku tentang pertanyaanmu ini itulah sebenar-benar ilmuku.

Maka jangan ragu-ragu untuk selalu memproduksi pertanyaan, karena mereka itulah landasan dari filsafatmu.

Sedangkan engkau tahu bahwa sebenar-benar filsafat adalah hidupmu.

Maka pertanyaan-pertanyaanmu itu adalah hidupmu.

Hidupmu itulah keberadaanmu.

Maka aku juga telah membuktikan cogito ergosumnya Rene Descartes, bahwa engkau ada "hidup" adalah dikarenakan engkau masih bisa bertanya.

Tetapi engkau mampu bertanya adalah karena ikhlas pikirmu.

Maka barang siapa tidak ikhlas dalam pikirnya maka dia terancam tidak bisa bertanya.

Maka barang siapa tidak bertanya atau tidak mau bertanya, maka dia akan terancam hidupnya.

Sebenar-benar hidupmua adalah pertanyaanmu.

Ilmu bermodal ilmu, ikhlas bermodal ikhlas, hidayah bermodal hidayah, bertanya bermodal bertanya.

Maka tiadalah kemampuanmu bertanya itu datang seketika dari langit, tiada pulalah hidupmu itu sekonyong datang dari langit, kecuali hal yang demikian juga adalah ikhtiarmu.

Maka aku juga telah menemukan bahwa ikhtiarmu itulah hidupmu.

Dari ikhlas pikir sampai ikhtiar dan hidup.

Itulah aku juga telah membuktikan bahwa setiap kata-katamu adalah puncak gunung es duniamu.

Maka ilmumu adalah penjelasanmu dari setiap puncak gunung es mu.

Penjelasanmu adalah ilmumu adalah filsafatmu dan ternyata adalah ikhlas pikirmu.

Maka ikhlas dalam filsafat adalah ikhlas dalam pikir adalah ternyata filsafat itu sendiri.

Itulah yang sebenar-benar sedang engkau hadapi.

Belajar filsafat adalah usahamu menggapai ikhlas dalam pikirmu.

Maka baca dan renungkanlah.

Amiin

1 komentar:

  1. Assalamu’alaikum Guru Pikiranku
    Terima kasih atas penyadaran ini, bagiku memahami filsafat itu sangat penting, apalagi selama ini hampir tidak pernah mendapatkan pencerahan tentang filsafat, karena asumsi awal yang sudah dibangun oleh sebahagian besar orang disekitarku bahwa tidak ada gunanya belajar filsafat, belajar filsafat bisa jadi gila/stress, dan seabrek pendapat-pendapat orang yang menilai miring tentang filsafat, sehingga aku cenderung menghindar. Lewat pencerahan oleh Bapak (Dr. Marsigit) ini luar biasa, ternyata yang ada dalam pikiranku selama ini hanyalah MITOS belaka, sehingga aku berkesimpulan alangkah rugi kalau aku tidak mengikuti kesempatan ini dengan baik. Aku begitu ingin sekali memahaminya sehingga sejak awal aku mulai merasakan ada hikmahnya, perasaannku, pikiranku, mulai berbeda yaitu ingin sekali bersahabat dengan belajar filsafat. Hatiku, pikiranku menggebu-gebu ingin menggapainya, tapi apalah daya yang namanya aku baru lahir ingin melakukan apa saja, berpikir apa saja itu tidaklah mungkin. Aku mengatakan “aku harus ikhlas mempelajarinya”, itu baik, tapi ternyata caraku menggapainya itu yang masih harus dituntun, klimaks dari kesadaranku itu aku refleksikan dengan DIAM, DIAMku menyimpan pertanyaan, dan sedang aku pilah-pilah memulainya dari mana untuk bertanya, aku ingin mencoba menapakinya setahap demi setahap, dengan menggunakan pemahamanku yang baru sedikit aku simpan sebagai energiku, sambil aku terus mencoba menggali dari diriku. Menggapai ikhlas memang harus bertahap, tanpa "prejudice", akupun sangat setuju sekarang.
    Aku ingin membangun IKHLAS dari kesadaran, walau terlambat aku ingin mencoba melakukan perubahan dengan merefleksikan perilaku, pikiran, perasaan, selama aku mulai mengenal filsafat sampai hari di mana guru menegurku dengan mengatakan bahwa guru (Dr. Marsigit) “ tersenyum pada kegalauan hatiku”. Terima kasih guru energy baru buat aku, ternyata guru mau memperdulikan aku. Aku menyadari bertanya adalah kehidupanku, Semoga Bapak dikaruniai ketulusan dalam membimbing aku dan teman-temanku untuk menggapai IKHLAS. Amin

    BalasHapus