Sabtu, 26 November 2011

FILSAFAT DALAM PERSPEKTIF BAHASA Oleh Muhammad Yusuf Bima

Tulisan ini diberi judul “Filsafat dalam Perspektif Bahasa”. Adapun alasan yang membawa penulis mengajukan judul di atas dikarenakan bahasa merupakan cermin realitas dari aktifitas kehidupan manusia. Melalui bahasa kita dapat memahami substansi dari apa yang dikomunikasikan. Sebagai contoh: ketika seseorang mengatakan ‘saya lapar’ maka realitas dari ungkapan bahasa tersebut adalah bahwa dia lapar dan butuh makanan untuk tidak lapar. Interpretasi realitas ungkapan bahasa dalam kehidupan manusia sehari-hari tidak selalu memuat kebenaran yang absolut. Hal ini dapat dimengerti karena bahasa dapat dijadikan sebagai manipulasi dari apa yang dimaksudkan. Namun tidak dapat disangkal bahwa realitas ungkapan bahasa tidak pernah salah, kalaupun salah ada proposisinya. Untuk menyederhanakan kalimat ini lebih baik diilustrasikan dengan contoh di bawah ini:
Monyet memiliki mata
Manusia memiliki mata

Maka monyet dan manusia adalah sama karena masing-masing memiliki mata. Realitas ungkapan bahasa dari contoh di atas mutlak mengandung kebenaran, namun proposisi yang ditawarkan sebagai kesimpulan adalah salah. Dengan demikian interpretasi realitas ungkapan bahasa dalan kaitannya dengan konteks filsafat bahasa harus didasarkan pada kerangka pemikiran logis.
Ungkapan bahasa yang dimaksudkan dalam tulisan ini dibatasi dalam bentuk ungkapan sehari-hari baik itu merupakan pernyataan ataupun pepatah yang sering kita dengar. Maka dengan itu batasan dari permasalahan yang dikaji dalam tulisan ini adalah bagaimana interpretasi terhadap ungkapan bahasa dalam konteks filsafat bahasa dapat memperjelas dan mempermudah makna dari konsep filsafat itu sendiri. Dan apakah ada keterkaitan ungkapan bahasa dalam menentukan pola pikir pemakainya dalam kultural melalui pikiran atau unsur filsafati dalam setiap ungkapan yang dituturkan oleh penutur bahasa tersebut. Manusia tidak akan pernah lepas dari kegiatan berfilsafat dalam kehidupannya. Secara umum orang sering menafsirkan filsafat sebagai pernyataan yang teramat sulit dipahami karena memuat tentang kebijakan maupun konsep-konsep pemikiran yang berkaitan dengan semesta alam. Bahkan ada sinyelamen bahwa filsafat sering membingungkan dan menyesatkan sementara yang membuatnya tidak pernah merasa bingung bahkan tersesat oleh karenanya. Berbahasa sepertinya didapatkan secara alamiah sehingga tidak perlu mempelajarinya. Padahal pengertian ini hanya bagi kaum awam yang tidak memahami betapa kompleks dan kayanya khasanah bahasa dalam aktifitas kehidupan manusia sehari-hari. Sadar atau tidak sadar, bahasa atau ungkapan bahasa seseorang tetap memiliki makna atau realitas terhadap sesuatu yang dirujuknya.
Dalam percakapan sehari-hari mungkin kita sering mendengar dan tidak menyadari betapa dalamnya makna yang dikandung ungkapan tersebut. Sebagai contoh ketika A menyadari bahwa B memakai baju baru, maka A akan menyapa B dengan teguran ramah:
A: Kamu baju baru, ya?
B: (menjawab) Ah! Tidak, tetapi tersenyum.

Bila kita perhatikan esensi dari ungkapan di atas maka kita memperoleh gambaran pemikiran sesuatu yang kontras. Kata ‘tidak’ bukan berarti menidakkan karena ‘senyum’ merujuk kepada pengakuan bahwa B memang memakai baju baru. Realitas ungkapan bahasa di atas dikaitkan pada filsafat bahasa dalam arti akal budi atau pemikiran dapat ditafsirkan sebagai sesuatu yang kabur atau absurd. Hal ini bisa jadi berkaitan dengan nilai budaya ketimuran yang terkenal ramah dan berkesan tertutup. Dengan kata lain, sikap keterus terangan maupun ketransparanan ditutupi oleh kenaifan yang amat lugu namun memiliki kesan tidak mempunyai sikap keberanian untuk terbuka.
Masih ada lagi ungkapan bahasa dalam bentuk pepatah yang sangat mengandung nilai budaya yang tinggi bagi masyarakat Indonesia. Pepatah Tersebut sering dimaksudkan pada kondisi seseorang yang menghadapi pilihan yang teramat berat untuk membuat sesuatu keputusan. Pepatah tersebut adalah:
Bagaikan makan buah simalakama.
Dimakan mati ibu tidak dimakan mati bapak.

Dari sudut pandang filsafat, maka makna dari ungkapan bahasa di atas adalah terbenturnya suatu sikap mengambil kebijakan karena adanya dua pilihan yang beresiko. Dengan kata lain, tidak ada jalan keluar sebijak apapun kecuali penentuan sikap untuk menghadapi segala kemungkinan. Namun kenyataannya pepatah tersebut dewasa ini sering dipelesetkan dari esensi makna yang sebenarnya. Dikatakan bila seseorang dari suku Batak dihadapkan pada masalah tersebut, maka dia akan merasakan buahnya dulu tanpa menelannya. Artinya, bagi dia makan berbeda dengan mengkulum atau merasakan buah tersebut di dalam mulut. Berbeda dengan etnis Cina yang budayanya senang berdagang. Dia akan merasakan buah tersebut dengan mengulumnya ke dalam mulut dan kemudian menjualnya kepada orang lain. Tentu pelesetan seperti di atas tidak lagi identik dengan makna yang sebenarnya dari ungkapan bahasa tersebut. Dengan demikian peran filsafat bahasa yang menganalisis konsep filsafati melalui medium bahasa akan mempertegas makna yang sebenarnya yaitu pilihan yang teramat sulit untuk diputuskan. Pergeseran interpretasi ralitas ungkapan bahasa sering terjadi karena adanya perubahan tatanan nilai budaya di tengah-tengah masyarakat.
Sebagai contoh kita bisa membedakan persepsi generasi tua dengan generasi muda tentang ungkapan bahasa dalam bentuk pepatah di bawah ini:
Berakit-rakit ke hulu
Berenang-renang ke tepian
Bersakit-sakit dahulu
Bersenang-senang kemudian.

Generasi tua akan menginterpretasikan konteks filsafati ungkapan tersebut pada masanya yang memang serba sulit dan butuh perjuangan ekstra keras. Dengan demikian, kaum tua lebih menyederhanakannya dengan keyakinan bahwa hidup harus dihadapi dengan semangat baja di mana seseorang harus siap menderita untuk memperoleh keberhasilan. Hal ini memang merupakan realita yang dialami kaum generasi tua pada masanya untuk meraih keberhasilan hidup. Bagi kaum generasi muda yang menumpang di keberhasilan orang tuanya akan menginterpretasikan makna yang berbeda. Kaum Muda lebih menghubungkannya dengan situasi sekarang yang serba cepat untuk meperoleh kemenangan (siapa cepat dia menang). Kaum muda bahkan memberikan respon yang lebih radikal bahwa setelah sakit yang lebih dekat adalah kematian bukan kesenangan. Merujuk pada realitas ungkapan bahasa dalam konteks filsafat bahasa, ungkapan di atas perlu dicermati pada nuansa kulturalnya. Di dalam ungkapan tersebut pada bait pertama dan kedua merujuk pada usaha, sementara pada bait ketiga dan keempat merupakan kemungkinan hasilnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar