Minggu, 06 November 2011

Elegi Pengembaraan Orang Tua Berambut Putih

Oleh Marsigit

Kini aku merasa sudah saatnya aku mengembara. Supaya pengembaraanku bermakna, maka aku akan bertanya kepada para saksi. Tetapi sebelum aku bertanya kepada saksi-saksi terlebih aku ingin sampaikan bahwa sebenar-benar sebenar-benar saksi tidak lain tidak bukan adalah aku sendiri. Aku ingin mengaku bahwa aku mengetahui segala sesuatu, tetapi jika mereka bertanya kepadaku maka dengan serta merta aku tidak mengetahuinya. Mengapa? Karena sebenar-benar diriku adalah pertanyaan mereka. Bagaimana mungkin aku mengerti tentang pertanyaanku sendiri? Maka sebodoh-bodoh orang adalah diriku ini, karena aku selalu bertanya tentang segala hal, tetapi aku selalu tidak dapat menjelaskannya. Tetapi bukankah mengerti bahwa aku tidak dapat menjawab itu pertanda bahwa tidak tidak mengerti. Maka dapat aku katakan bahwa sebenar-benar diriku adalah tidak tidak mengerti. Hendaknya jangan terkejut bahwa tidak tidak mengerti itu sebenarnya adalah mengerti pula. Maka bukanlah aku yang ingin mengatakan, tetapi mereka yang boleh mengatakan bahwa aku selalu mengerti tentang pertanyaanku itu. Bukankah di sini mereka tahu bahwa sebenar-benar diriku adalah kontradiksi, karena aku sekaligus mengerti dan tidak mengerti. Itulah sebenar-benar ilmu, yaitu kontradiktif. Tetapi janganlah salah paham, kontradiksi itu adalah ilmu, tempat tinggalnya ada dalam pikiranmu.

Orang tua berambut putih berjumpa Socrates, Plato, Aristoteles, George Berkely, Rene Descartes, dan Immanuel Kant.
Wahai Socrates, Plato, Aristoteles, Rene Descartes, David Hume dan Immanuel Kant, ..., bolehka aku bertanya kepadamu. Menurut kesaksianmu, siapakah sebenar-benar dirimu dan sebenar-benar diriku?

Socrates:
Wahai orang tua berambut putih. Sebenar-benar diriku adalah pertanyaanku. Maka aku akan bertanya kepada siapapun tentang segala hal yang aku sukai. Sedangkan sebenar-benar dirimu adalah diriku juga. Maka sebenar-benar dirimu tidak lain adalah pertanyaanku juga pertanyaanmu. Jawaban para pakar dan para ahli itulah sebenar-benar tempat tinggalmu. Itulah sebenar-benar ilmu yaitu pertanyaanmu.

Plato:
Sebenar-benar dirimu adalah pikiranku. Sebenar-benar dirimu adalah imajinasiku. Tidak aku panggil, engkau sudah ada dalam pikiranku. Maka dirimu yang absolut itulah yang selalu aku pikirkan. Semuanya tentang dirimu sudah ada dalam pikiranku. Hanya terkadang aku sulit mengenalimu. Tetapi aku sadar, bahwa banyak orang mencoba mirip-mirip dengan mu. Itulah mereka yang dapat aku lihat dan dapat aku raba. Mereka jumlahnya sangat banyak. Tetapi mereka semuanya bersifat sementara. Maka sebenar-benar dirimu adalah ide-ide ku. Tempat tinggalmu ada dalam pikiranku. Tetapi aku selalu mengkhawatirkanmu, karena dalam pikiranku selalu ada lubang gelap seperti gua. Gua-gua seperti itulah yang menyebabkan aku sulit mengenalmu. Aku juga mengkhawatirkan akan badanku, karena badanku inilah penyebab munculnya gua-gua itu. Maka sebenar-benar dirimu adalah hamba yang terlepas dari penjara badanku. Maka sebenar-benar dirimu adalah pikiranku yang berada di luar gua kegelapanku dan terbebas dari badanku. Itulah sebenar-benar ilmu, tidak lain tidak bukan adalah pikiranku. Tetapi aku mengalami kesulitan untuk menjelaskan kepada orang-orang tentang tempat tinggalmu itu.

Aristoteles:
Aku agak berbeda dengan guruku Plato. Menurutku, sebenar-benar dirimu adalah adalah pengalamanku. Maka tempat tinggalmu adalah pada pengalamanku. Begitu aku menggapai pengalamanku maka dengan serta merta muncullah dirimu itu. Maka menurutku, sebenar-benar dirimu adalah yang dapat aku lihat, aku raba, dan aku indera. Maka sebenar-benar dirimu adalah diluar diriku. Padahal aku tahu bahwa dirimu adalah diriku. Maka aku tidak lain tidak bukan adalah sekaligus bukan aku. Mengapa? Karena aku mengalami kesulitan memahami engkau yang berada diluar diriku. Dan juga mengalami kesulitan bagaimana aku dapat menjelaskan kepada orang-orang bahwa engkau yang berada di luar diriku itu sebenar-benarnya adalah diriku.

George Berkely:
Menurutku, engkau adalah yang aku lihat atau aku persepsi. Jikalau engkau tidak adalah di situ, maka tidak adalah sebenar-benarnya engkau itu. Esse est percipi itulah kata-kataku. Maka sebenar-benar engkau adalah tipuanmu belaka. Engkau adalah fatamorgana. Maka sebenar-benar engkau yang adapat aku lihat adalah tipuan juga. Jadi apalah artnya sesuatu yang dapat engkau lihat itu, kecuali hanya tipuan belaka. Maka dunia ini tidak lain tidak bukan adalah tipuan belaka. Itulah sebenar-benar dirimu itu. Padahal aku tahu bahwa dirimu adalah diriku juga, maka sebenar-benar ilmu itu tidak lain tidak bukan adalah tipuan butamu.

Rene Descartes:
Menurutku, sebenar-benar dirimu adalah mimpiku. Tiadalah aku dapat menemukanmu tanpa mimpi-mimpi itu. Bagiku mimpi adalah nyata. Dan yang nyata bisa juga menjadi mimpiku. Maka sebenar-benar diriku adalah tidak dapat membedakan apakah kenyataan atau mimpiku. Namun aku selalu risau karena jika aku ingin berjumpa denganmu aku selalu dihadang makhluk hitam yang akan menyesatkanku, sehingga aku selalu salah mengertimu. Maka selalulah terjadi bahwa aku selalu meragukan keberadaanmu. Maka sebenar-benar dirimu adalah keraguanku itu sendiri. Itulah sebenar-benar ilmu, yaitu keraguanmu. Aku meragukan semuanya tanpa kecuali. Hanyalah ada satu yang tidak dapat aku ragukan yaitu diriku sendiri yang meragukan itu. Itulah satu-satunya kepastian bagiku. Cogito ergosum itulah kata-kataku, yaitu bahwa diriku itu ada karena aku tahu sedang meragukannya. Bukankah itu sebenar-benar dirimu. Maka sebenar-benar keberadaanku adalah diriku yang berpikir ini.

Immanuel Kant:
Menurutku engkau adalah pikiranku sekaligus pengalamanku. Tiadalah dirimu itu ada di situ tanpa pikiranku atau tanpa pengalamanku. Sedangkan tempat tinggalmu adalah di dalam intuisiku. Ketahuilah bahwa aku mempunyai dua intuisi yaitu intuisi ruang dan intuisi waktu. Itulah sebenar-benar tempat tinggalmu. Tetapi untuk mengerti tentang dirimu aku harus bersifat kritis. Maka sebanar-benar dirimu adalah pikiranku yang kritis. Itulah sebenar-benar ilmu, tidak lain tidak bukan adalah pikiran kritismu. Namun ketahui pula bahwa tidaklah mudah menggapai dirimu. Ketika engkau kukejar dengan pikiran kritisku, maka engkau lari menuju keputusanmu. Itulah setinggi-tinggi tempat tinggalmu, yaitu pada keputusanku. Maka sebenar-benar ilmu tidak lain tidak bukan adalah keputusanmu.

Orang tua berambut putih tidak puas dengan jawaban Socrates, Plato, Aristoteles, George Berkely, Rene Descartes, dan Immanuel Kant.
Ah, ngacau semua mereka itu. Jawaban mereka sesuai selera masing-masing. Maka belum puaslah diriku alan jawaban mereka semua. Tetapi aku sadar bahwa aku sedang berada pada jaman jauh sebelum diriku sekarang. Padahal aku belum sempat bertanya kepada orang sekarang yang berseliweran didepanku. Maka aku berjanji akan meneruskan perjalananku untuk bertanya siapa sebenarnya diriku itu?

Orang tua berambut putih bertemu Hegel, Brouwer, Russell, Wittgenstein, Hilbert, Godel, Husserll, Einstein, Lakatos dan Ernest
Wahai Hegel, Brouwer, Russell, Wittgenstein, Hilbert, Godel, Husserll, Einstein, Lakatos dan Ernest, ..bolehkah aku bertanya kepadamu. Menurut kesaksianmu, siapakah sebenar-benar dirimu dan sebenar-benar diriku itu?

Hegel:
Sebenar-benar dirimu adalah riwayatku. Padahal hidupku telah melampuai masa laluku, dan sedang mengalami waktu kiniku dan bersiap-siap untuk menempuh masa depanku. Itulah sebenar-benar dirimu, adalah sejarah bagimu. Maka akupun tidak lain tidak bukan adalah sejarah itu sendiri. Jadi sebenar-benar ilmu adalah sejarah dirimu. Hidupmu adalah sejarah diriku. Diriku adalah sejarah dunia ini. Maka sebenar-benar dunia adalah mensejarah. Ketahuilah bahwa tiadalah ada di dunia ini beserta wadah dan isinya yang tidak mensejarah. Make tersesatlah wahai orang-orang yang melupakan akan sejarahnya.

Brouwer:
Sebenar-benar dirimu adalah intuisiku. Namun hendaknya engkau ketahui bahwa intuisiku bersifat ganda. Maksudnya adalah jika aku memikirkanmu yang satu maka aku masih dapat mengingat engkau yang lain. Demikianlah seterusnya. Itulah sebenar-benar ilmuku. Yaitu intuisiku yang bersifat ganda.

Russell:
Sebenar-benar dirimu adalah logikaku. Hukum sebab-akibat dalam koherensi itulah sebenar-benar dirimu itu. Dirimu adalah konsistensi logikaku. Dirimu adalah kepastian pikiranku. Dirimu adalah kejelasan pikiranku. Maka sebenar-benar dirimu adalah premis-premis dan kesimpulan yang bersifat rigor. Tiadalah ada dirimu di situ jikalau engkau menyalahi hukum-hukumnya. Tetapi ternyata aku mempunyai musuh yang maha besar yang siap menerkam diriku. Yaitu ketika aku tidak bisa menjawab apakah engkau yang tidak sama dengan engkau itu termasuk anggota dari kumpulan engkau.

Wittgenstein:
Sebenar-benar dirimu adalah kata-kataku. Maka sebenar-benar ilmu itu adalah kata-kata. Kata-kata dan bahasa itulah rumahku. Maka engkau yang besar dapat aku lihat sebagai kumpulan engkau yang kecil-kecil. Engkau yang besar adalah gabungan engkau yang kecil-kecil. Demikianlah sifat kata-kata dan kalimat-kalimat dalam bahasa. Maka barang siapa tidak dapat mengucapkan kata-katanya, maka dia terncam kehilangan ilmunya.

Hilbert:
Sebenar-benar dirimu adalah sistimku. Sebenar-benar dirimu adalah formalitasku. Maka sistimku yang tersusun secara formal itulah sebenar-benar engkau. Itulah engkau yang mampu menaungi semuanya tanpa kecuali. Engkau yang satu adalah tujuanku. Maka tiadalah ilmu yang lain kecuali engkau yang satu itu. Engkau yang satu itulah konsistensi dan kelengkapanmu. Maka sebenar-benar ilmu adalah satu, konsisten dan lengkap. Tetapi aku bermimpi akan ada seseorang muridku yang membalikkan pikiranku ini. Tetapi entahlah.

Godel:
Sebenar-benar dirimu adalah pilihanmu. Engkau tingal memilih salah satu. Jika engkau memilih konsisten, maka tidak akan lengkapkah engkau itu. Jika engkau memilih kelengkapan, maka tidak akanlah engkau itu konsisten. Untuk itu aku berani mempertaruhkan segalanya di depan guruku Hilbert bahwa pernyataanku itu memang benar demikianlah.

Husserll:
Sebenar benar dirimu adalah hanya sebagian dari diriku. Engkau tidak akan mengerti akan dirimu jika engkau berusaha menggapai semuanya. Maka sebenar-benar ilmu adalah phenonemologi, yaitu sebagian darimu yang aku sembunyikan yang lainnya di dalam rumah epoche. Jika aku berpikir tentang satu maka aku singkirkan yang lainnya. Aku bersihkan pikiranku dari memikirkan yang lainnya. Jika aku memikirkan engkau sebagai kubus matematika, maka aku singkirkan semua sifat-sifat yang tidak aku kehendaki. Bukankah ketika aku memikirkan kubus matematika aku tidak perlu memikirkan aroma, aku tidak perlu memikirkan harga jual, aku tidak perlu memikirkan keindahan. Itu semua aku simpan dalam rumah epoche. Sedang yang aku pikirkan hanyalah ukuran dan bentuk dari kubus itu. Itulah sebenar-benar ilmu, yaitu satu atau beberapa sifat dari dirimu yang aku pilih untuk aku pikirkan.

Einstein:
Sebenar-benar dirimu adalah ketidak pastianmu. Tetapi hendahlah engkau ingat bahwa ketidak pastianmu itulah sebenar-benar kepastian. Maka relativisme itulah kata-kataku. Aku tidak pernah pasti dapat menentukan dirimu. Namun, itu juga kepastianku. Aku memastikan bahwa aku dalam keadaan berhenti ketika aku bersama-sama berjalan denganmu. Tetapi aku juga dapat memastikan bahwa aku dalam keadaan berjalan ketika aku bersama-sama berhenti dengan mu. Ketinggianmu adalah sekaligus tempat paling rendahmu, demikian sebaliknya. Kecepatan dan masa itulah kunci untuk mengetahui tempat tinggalku. Maka e=mc2 itulah sebenar-benar diriku. Maka sesungguh-sungguhnya ilmu adalah relativitasmu.

Lakatos:
Sebenar-benar dirimu adalah kesalahanku. Ketahuilah bahwa tiada benar tanpa mengerti kesalahan. Maka sebenar-benar ilmu adalah kesalahan itu sendiri. Maka fallibism itulah kata-kataku. Maka jika engkau ingin menggapai benar, maka tidaklah engkau bisa terhindar dari kesalahan. Ketahuilah bahwa menghindari yang salah bukan satu-satunya jalan menuju yang benar. Sedangkan menggapai yang benar tidak berarti menghindari yang salah. Maka sebenar-benar dirimu adalah kesalahanku itu. Maka sebenar-benar tempat tinggalmu adalah di antara yang benar dan salah.

Ernest:
Sebenar-benar dirimu adalah pergaulanmu. Maka tiadalah dirimu itu tanpa pergaulanmu. Itulah sebenar-benar ilmu, yaitu pergaulan itu sendiri. Maka selalu bergaullah antar sesamamu agar engkau memperoleh ilmumu. Itulah sebenar-benar ilmu, yaitu perolehanmu dalam pergaulanmu. Maka socio-constructivist adalah kata-kataku. Yaitu bahwa ilmumu kamu peroleh melalui pergaulanmu.

Orang tua berambut putih ternyata belum puas dengan jawaban Hegel, Brouwer, Russell, Wittgenstein, Hilbert, Godel, Husserll, Lakatos dan Ernest
Ah, ngacau semua mereka itu. Jawaban mereka sesuai selera masing-masing. Maka belum puaslah diriku akan jawaban mereka semua. Tetapi aku sadar bahwa aku sedang berada perjalananku. Tetapi aku ragu apakah aku mampu memikirkan masa depanku?

Orang tua berambut putih bertemu dengan Teleologi
Wahai seseorang, siapakah dirimu itu. Rasa-rasanya aku pernah melihatmu, tetapi tidaklah begitu jelas. Rasa-rasanya aku pernah pergi bersamamu tetapi aku lupa kemana ketika itu. Rasa-rasanya aku pernah berdiskusi denganmu, tetapi aku lupa tentang apa yang kita diskusikan ketika itu.

Teleologi:
Kenalkanlah namaku adalah teleologi. Aku adalah adalah seorang pembantu. Engkau ingatlah seseorang yang bernama Immanuel Kant. Itulah sebenar-benar tuanku. Aku disuruh oleh Immanuel Kant untuk menemuimu. Mengapa? Karena Immanuel Kant mendengar pertanyaan dan kegelisahan dirimu tentang masa depanmu.

Orang tua berambut putih:
Menurut pengetahuanku, Immanuel Kant mempunyai banyak sekali pembantu. Maka tolong jelaskanlah engkau siapa sebenarnya.

Teleologi:
Aku adalah masa depan. Aku berangkat dari masa lampau. Aku adalah semuanya dalam dimensi ruang dan waktu.

Orang tua berambut putih:
Aku tidak jelas penjelasanmu itu. Tolong bicara yang agak rinci.

Teleologi:
Tiadalah sesuatu itu tidak berasal dari sesuatu yang lain. Tiadalah pula sesuatu itu tidak menjadi sesuatu yang lain. Benda sebesar bumi ini akan menjadi sebuah titik jika engkau melihatnya dari kejauhan. Maka sebaliknya, tidaklah engkau dapat menduga bahwa sebuah titik pun bisa menjadi bumi pada masa depannya. Garis sepanjang ini akan menjadi titik jika engkau melihatnya dari kejauhan. Maka sebaliknya, tidaklah engkau dapat menduga bahwa sebuah titik pun bisa menjadi garis pada masa depannya. Berdasarkan analogi tersebut maka aku mengkhawatirkanmu bahwa di masa depanmu engkau akan bisa berbentuk apa saja. Engkau bisa saja terbang seperti seekor burung jika seribu, sejuta, semilyard keturunanmu selalu menginginkan terbang dan beratih untuk terbang. Itulah sebenar-benar diriku. Itu pulalah sebenar-benar ilmuku dan juga ilmumu. Jadi sebenar-benar ilmu adalah diriku, yaitu teleologi.

1 komentar:

  1. Assalamu’alaikum Guru Pikiranku
    Guru berguru, ilmu mencari dan melengkapi ilmu, itulah isyarat yang disampaikan dalam elegi ini. Orang yang berambut putih dalam hal ini jelmaan dari ilmu itu sendiri, terus berkelana mencari dukungan terhadap apa yang dimiliki dan terus melakukan intensi dan ekstensi terhadap subyek ilmu itu sendiri. Tapi perlu disadari karena keterbatasan berpikirlah membuat orang yang merasa berilmu itu mencari referensi lain, mungkin apa yang dipikirkan itu benar, tapi mungkin dipikirkan orang lain salah. Sebagai manusia tempat salah dan alpa, rasanya perlu terus melengkapi keterbatasannya itu, dengan terus mencari para saksi-saksi (filsuf, dalam filsafat) walau lengkap itu sebatas apa yang yang dipikirkan oleh siapapun yang paling dianggap tahu. Menyampaikan ide dan pikiran adalah filsafat (olah pikir) dari seseorang. Siapapun kita ataupun Socrates, Plato, Aristoteles, Rene Descartes, David Hume, Immanuel Kant, Hegel, Brouwer, Russell, Wittgenstein, Hilbert, Godel, Husserll, Einstein, Lakatos, Ernest, bolehlah menyampaikan apa yang dipikirkan sesuai dengan seni berpikirnya masing. Yang paling penting adalah apa yang disampaikan bukanlah yang paling benar, karena benar menurut kita karena kita baru melihat dari satu sisi, akan ada orang lain mungkin beda menafsirkan. Kitapun jangan sampai mendapatkan ilmu dari satu sumber sudah merasa cukup dan seolah-olah yang lain tidak penting dan tidak ada manfaatnya. Dalam berfilsafat saya sangat salut dengan Plato dan Socrates, walau mereka guru dan murid tapi mereka beda dalam mendefinisikan ilmu, karena mereka melihat dari sisi yang berbeda, tapi mereka tetap saling menghargai dan saling melengkapi. Ini adab yang luar biasa dan perlu juga dicontoh, hari ini siswa kita menjadi murid kita, mungkin suatu saat murid itu bisa menjadi guru kita, karena ilmu itu terus berkembang dan terus melakukan intensi dan ekstensi. Tuhan berfirman “ dan tidaklah aku karuniakan ilmu itu masing-masing melainkan sedikit saja”, karena sudah dibekali akal dan pikiran, manusia perlu melakukan intensi dan ekstensi ilmu itu sesuai dengan kebutuhan berdasarkan panduan dari orang-orang yang dianggap tahu lebih dahulu sebagai pembanding atau pengarah. Semoga kita tidak merasa puas dulu dengan apa yang diketahui dan merasa yang paling benar dan menjadi bagian masa sekarang dan masa yang akan datang yang terus memburu ilmu-ilmu yang membawa kemaslahatan dunia sampai akhirat. Amin

    BalasHapus