Ass, masih tercecer persoalan belajar filsafat. Berikut saya nukilkan pendapat atau pernyataan Ibu Sri Mugiyoningsih " pembelajaran kontekstual yang menghubungkan matematika dengan dunia nyata, maka aspek filsafatnya adalah logicism".
Berbagai macam Alat Berpikir yang saya kembangkan dalam perkuliahan Filsafat meliputi pengertian tentang : Mitos, Jebakan Filsafat, Berpikir secara Ikhlas, Abstraksi, Reduksi, Determinist, Infinite Regress...dst..mempunyai tujuan agar kita mampu memberFilsafatkan Hidup ini dengan intensif dan ekstensif.
Di dalam Reduksi terkandung Abstraksi yaitu suatu metode berpikir yang Sangat Tajam tetapi sekaligus Sangat Berbahaya. REDUKSI dengan ABSTRASI nya Sangat Tajam karena Tidak Ada Aspek hidup ini yang terbebas darinya. Sampai-sampai aku bisa mengatakan bahwa Hidup ini tidak lain adalah Reduksi atau Abstraksi.
Tetapi Reduksi dengan Abstraksinya sangatlah Berbahaya karena Setiap Langkahnya mengandung ELIMINASI sifat-sifat yang tereduksi.
Kembali ke pernyataan Ibu Sri Mugiyoningsih "pembelajaran kontekstual yang menghubungkan matematika dengan dunia nyata, maka aspek filsafatnya adalah logicism", menurut saya inilah salah satu Bahayanya Reduksi. Jika Pembelajaran Kontekstual direduksikan ke Filsafat Logicism, menurut saya terlalu Gegabah atau suatu Reduksi yang kurang tepat. Kenapa?
Maka cermatilah ontologisnya atau hakekatnya Pembelajaran Kontekstual, dan cermatilah Filsafat Logicism?
Alasan mengapa dan bagaimananya, kembali saya serahkan kepada Pembaca.
Selamat mencoba.
Sabtu, 31 Desember 2011
Aktivitas, Serba-serbi, Problematika Pembelajaran dan Solusinya
Komentar untuk Forum Tanya Jawab 67: Aktivitas, Serba-serbi, Problematika Pembelajaran dan Solusinya
oleh Muhammad Yusuf Bima
Assalamu’alaikum Wr…Wb…
Cerita-cerita ini rasanya hampir setiap daerah mirip-mirip. Asumsi saya mungkin karena standar kita mau disamakan dari Aceh sampai Papua. Agak lucu memang antara pendidikan dikota yang didukung sarana prasarana yang lengkap mau disandingkan dengan yang di sekolah-sekolah pelosok yang jauh dari listrik, jauh dari kendaraan, jauh dari fasilitas yang memadai. Walau alasan itu yang diketengahkan harusnya tidak membuat kita surut dalam memfasilitasi siswa untuk belajar sesuai dengan kondisi di mana kita berada. Jangan sampai seolah-olah ingin memeluk gunung apa daya tangan tak sampai. Memang selama ini kita sebagai guru terlalu banyak menuntut karena yang di ataspun menuntut, akhirnya karena saling menuntut dan tidak ditemukan jalan keluar, melakukan kesalahan berjamaah seperti waktu pelaksanaan UN, daripada tidak lulus katanya lebih baik mencari jalan keluar terlepas itu baik atau buruk. Tidak heran kita dengar ada kesepakatan-kesepakatan yang terjadi untuk menyelamatkan wajah kepala sekolah pada kepala dinas, wajah kepala dinas pada bupati, bupati pada gubernur, gubernur pada menteri diknas, menteri pada presiden, presiden pada dunia internasional. Katanya kalau prestasi meningkat aka nada bonus tertentu yang akan didapat Negara berkembang kalau prestasinya semakin baik. Sungguh saya pikir penyakit ini sudah kronis, entah siapa dulu yang harus diopname, semuanya sangat berpengaruh pada proses pembelajaran. Sampai saya pernah katakana “kambing lewatpun bisa lulus ujian kalau cara-cara yang dilakukan oleh beberapa sekolah yang kita dengar beritanya di TV itu di lestarikan”. Saya pikir itu seperti ice berg, tidak menutup kemungkinan banyak sekolah yang belum terungkap. Bayangkan ada suatu sekolah di daerah pelosok, yang jauh dari kota, tidak ada guru matematikanya, kok lulus semua?
Bagi saya solusinya, kembali ke hati nurani guru, mau menjadi guru atau jadi KS (Kuli Sekolah).
oleh Muhammad Yusuf Bima
Assalamu’alaikum Wr…Wb…
Cerita-cerita ini rasanya hampir setiap daerah mirip-mirip. Asumsi saya mungkin karena standar kita mau disamakan dari Aceh sampai Papua. Agak lucu memang antara pendidikan dikota yang didukung sarana prasarana yang lengkap mau disandingkan dengan yang di sekolah-sekolah pelosok yang jauh dari listrik, jauh dari kendaraan, jauh dari fasilitas yang memadai. Walau alasan itu yang diketengahkan harusnya tidak membuat kita surut dalam memfasilitasi siswa untuk belajar sesuai dengan kondisi di mana kita berada. Jangan sampai seolah-olah ingin memeluk gunung apa daya tangan tak sampai. Memang selama ini kita sebagai guru terlalu banyak menuntut karena yang di ataspun menuntut, akhirnya karena saling menuntut dan tidak ditemukan jalan keluar, melakukan kesalahan berjamaah seperti waktu pelaksanaan UN, daripada tidak lulus katanya lebih baik mencari jalan keluar terlepas itu baik atau buruk. Tidak heran kita dengar ada kesepakatan-kesepakatan yang terjadi untuk menyelamatkan wajah kepala sekolah pada kepala dinas, wajah kepala dinas pada bupati, bupati pada gubernur, gubernur pada menteri diknas, menteri pada presiden, presiden pada dunia internasional. Katanya kalau prestasi meningkat aka nada bonus tertentu yang akan didapat Negara berkembang kalau prestasinya semakin baik. Sungguh saya pikir penyakit ini sudah kronis, entah siapa dulu yang harus diopname, semuanya sangat berpengaruh pada proses pembelajaran. Sampai saya pernah katakana “kambing lewatpun bisa lulus ujian kalau cara-cara yang dilakukan oleh beberapa sekolah yang kita dengar beritanya di TV itu di lestarikan”. Saya pikir itu seperti ice berg, tidak menutup kemungkinan banyak sekolah yang belum terungkap. Bayangkan ada suatu sekolah di daerah pelosok, yang jauh dari kota, tidak ada guru matematikanya, kok lulus semua?
Bagi saya solusinya, kembali ke hati nurani guru, mau menjadi guru atau jadi KS (Kuli Sekolah).
Nyanyian dan Tangisan Para Filsuf Oleh Muhammad Yusuf Bima
Komentar untuk Forum Tanya Jawab 66: Tangisan dan Nyanyian Para Filsuf
Assalamu'alaikum Wr...Wb...
Filsuf hanyalah manusia biasa yang punya cipta, rasa dan karsa. Mereka saya pikir punya tujuan baik bagaimana orang lain bisa menikmati dunia ini seperti yang mereka rasakan, walaupun cara menikmatinya berbeda-beda. Mereka memiliki ide-ide yang briliant dalam rangka meramaikan episode perjalanan kehidupan manusia terlepas itu hal-hal yang biasa maupun hal-hal yang luar biasa, hal-hal yang bersifat identitas atau hal-hal yang bersifat kontradiksi. Mereka punya ambisi bahkan kitapun punya ambisis bagaimana menunjukkan eksistensi sebagai manusia yang pernah menghuni ruang dan waktu. Keberadaan akan dibuktikan oleh jejak tapak mereka berupa pikiran dan ide-ide yang kadang menggugah emosi dan nurani. Dalam perjalanannya pikiran-pikiran mereka yang diperkenalkan oleh orang-orang yang secara khusus mendalami pemikiran mereka menemui kendala, karena mungkin keterbatasan pemahaman orang yang membaca, atau mendengar karya-karya mereka itu. Seiring berubah ruang dan waktu, saat itu pula kadang penafsiran terhadap ide-ide mereka itu dibiaskan bahkan paling ekstrim ditolak karena mungkin dianggap tidak sesuai dengan jalan pikirannya. Dan itupun bagi para filsuf dianggap hal yang biasa karena apa yang dipikirkannya belum tentu sama dengan apa yang dipikirkan orang lain. Antitesi-antitesis pemikirannya dianggap sebagai produk filsafat juga. Yang paling dikhawatirkan oleh para filsuf sampai mereka harus meneteskan air mata adalah munculnya orang-orang yang berpikiran Reduksionist dan Determinis, hal ini dimungkinkan mereka memahami pemikiran-pemikiran para filsuf itu sepotong-sepotong, bahkan kurang ikhlas dalam mempelajari pemikiran-pemikiran mereka, bukannya malah menambah tahu malah menambah masalah. Dan itu tidak berhenti di situ, baru sedikit mengetahui pemikiran-pemikiran para filsuf itu sudah berlagak seolah-olah sudah mengetahui semua apa yang dipikirkan filsuf itu. Dan sungguh sangat tragis lagi menyampaikan pada orang lain seolah-olah yang dikatakan itu sumbernya dari filsuf yang dimaksud. Diibaratkan bagaimana beberapa orang buta yang dilepas di kandang gajah, lalu di suruh menceritakan ciri-ciri gajah, bisa dibayangkan oleh kita bagaimana mereka menceritakan gajah itu tidak secara utuh karena yang mereka jelaskan hanyalah dari apa yang mereka rasakan.
Ada sisi lain yang membuat para filsuf itu bisa sedikit lega hati, dengan mereka menyanyikan lagu-lagu yang menyentuh, betapa pikiran-pikiran mereka masih ada orang-orang yang mau memikirkannya lagi sehingga pikirannya akan terus menjadi bahan perbincangan baik oleh orang yang pro maupun kontra. Walaupun orang-orang itu menjadi Reduksionist dan Determinis, tapi mereka sudah dianggap sebagai orang yang memperbincangkan ide-ide para filsuf itu.
Para Filsuf telah melakukan sesuatu yang sepantasnya yang bisa mereka lakukan sebagai penghuni ruang dan waktu. Sekarang pertanyaannya apakah kita sudah mempersiapkan sesuatu sebagai bukti bahwa kita pernah berada pada ruang dan waktu itu.
Assalamu'alaikum Wr...Wb...
Filsuf hanyalah manusia biasa yang punya cipta, rasa dan karsa. Mereka saya pikir punya tujuan baik bagaimana orang lain bisa menikmati dunia ini seperti yang mereka rasakan, walaupun cara menikmatinya berbeda-beda. Mereka memiliki ide-ide yang briliant dalam rangka meramaikan episode perjalanan kehidupan manusia terlepas itu hal-hal yang biasa maupun hal-hal yang luar biasa, hal-hal yang bersifat identitas atau hal-hal yang bersifat kontradiksi. Mereka punya ambisi bahkan kitapun punya ambisis bagaimana menunjukkan eksistensi sebagai manusia yang pernah menghuni ruang dan waktu. Keberadaan akan dibuktikan oleh jejak tapak mereka berupa pikiran dan ide-ide yang kadang menggugah emosi dan nurani. Dalam perjalanannya pikiran-pikiran mereka yang diperkenalkan oleh orang-orang yang secara khusus mendalami pemikiran mereka menemui kendala, karena mungkin keterbatasan pemahaman orang yang membaca, atau mendengar karya-karya mereka itu. Seiring berubah ruang dan waktu, saat itu pula kadang penafsiran terhadap ide-ide mereka itu dibiaskan bahkan paling ekstrim ditolak karena mungkin dianggap tidak sesuai dengan jalan pikirannya. Dan itupun bagi para filsuf dianggap hal yang biasa karena apa yang dipikirkannya belum tentu sama dengan apa yang dipikirkan orang lain. Antitesi-antitesis pemikirannya dianggap sebagai produk filsafat juga. Yang paling dikhawatirkan oleh para filsuf sampai mereka harus meneteskan air mata adalah munculnya orang-orang yang berpikiran Reduksionist dan Determinis, hal ini dimungkinkan mereka memahami pemikiran-pemikiran para filsuf itu sepotong-sepotong, bahkan kurang ikhlas dalam mempelajari pemikiran-pemikiran mereka, bukannya malah menambah tahu malah menambah masalah. Dan itu tidak berhenti di situ, baru sedikit mengetahui pemikiran-pemikiran para filsuf itu sudah berlagak seolah-olah sudah mengetahui semua apa yang dipikirkan filsuf itu. Dan sungguh sangat tragis lagi menyampaikan pada orang lain seolah-olah yang dikatakan itu sumbernya dari filsuf yang dimaksud. Diibaratkan bagaimana beberapa orang buta yang dilepas di kandang gajah, lalu di suruh menceritakan ciri-ciri gajah, bisa dibayangkan oleh kita bagaimana mereka menceritakan gajah itu tidak secara utuh karena yang mereka jelaskan hanyalah dari apa yang mereka rasakan.
Ada sisi lain yang membuat para filsuf itu bisa sedikit lega hati, dengan mereka menyanyikan lagu-lagu yang menyentuh, betapa pikiran-pikiran mereka masih ada orang-orang yang mau memikirkannya lagi sehingga pikirannya akan terus menjadi bahan perbincangan baik oleh orang yang pro maupun kontra. Walaupun orang-orang itu menjadi Reduksionist dan Determinis, tapi mereka sudah dianggap sebagai orang yang memperbincangkan ide-ide para filsuf itu.
Para Filsuf telah melakukan sesuatu yang sepantasnya yang bisa mereka lakukan sebagai penghuni ruang dan waktu. Sekarang pertanyaannya apakah kita sudah mempersiapkan sesuatu sebagai bukti bahwa kita pernah berada pada ruang dan waktu itu.
Forum Tanya Jawab 65: Si Tertuduh Infinit Regress
Ass, boleh jika ingin di komentari, seperti apakah kira-kira isiatau uraiannya dari Judul "Si Tertuduh Infinit Regress"?
Selamat mencoba. Amin.
Ass, Bapak Ibu, karena belum keluangan waktu maka saya tambah sedikit dulu referensi yang mendukung sisntesis judul ini dengan jawaban saya kepada Pak Fauzi rakhman sebagai berikut: "Ass untuk Pak Fauzi Rakhman dan juga untuk yang lainnya, Nyanyian Burung itu memang Sifat dan Karakter Dunia Pagi. Tetapi aku menemukan bahwa ternyata Kicauan Burung itu bisa sekonyong-konyong berhenti dikarenakan ulah Infinite Regress". Renungkanlah
Saya tambahkan, ternyata pada kesempatan lain kembali saya menemukan peristiwa mengenaskan karena ada Seekor Burung telah mati diterkam dan dimakan oleh Infinite Regress. Yah Pagi Hari itu tetap jalan terus walaupun tiadalah Kicau Burung di sana. Renungkanlah
Saya tambahkan, ternyata Pagi Hari berikutnya, bukannya Kicauan Burung yang aku dengar melainkan suara Derik Infinite Regress. Renungkanlah
Anehnya, di Pagi Hari yang lain saya menemukan Infinite Regress sedang memberi makan Burung-burung sehingga kemudian Burung-burung itu dapat Berkicau dengan Merdunya. Berikut saya nukilkan aktivitas Infinite Regres. Ibu Istining Ariwandini berkata "....tapi lagi-lagikita sering dihadapkan dengan Sarana dan Prasara yang kurang memadai dalam proses pembelajaran"
Kemudian Infinit Regress mengatakan " Menurut Nara Sumber Dunia Pendidikan Pagi Inovatif....sebenar-benar Hakekat Sarana dan Prasarana adalah KREATIVITAS GURU". Renungkanlah.
Pagi berikutnya saya terkejut menyaksikan ada seorang Guru mengiba-iba di depan Infinite Regress seraya berkata "Oh Infinite Regress, engkau Kuda Sembraniku, bolehkah aku naik ke atas punggungmu agar aku bisa mengikuti jejakmu menembus Ruang dan Waktu?"
Kemudian aku mendengar jawaban Infinite Regress "Silahkan tetapi aku tidak bisa menanggung atas segala akibat yang ditimbulkannya. Janganlah aku engkau jadikan Si Tertuduh jika engkau menerima akibat dari mengikuti jejak dan naik di punggungku"
Pertanyaan saya kemudian adalah Bagaimana Bapak/Ibu mendeskripsikan, Binatang macam apakah Infinite Regress itu?
Selamat mencoba. Amin
Selamat mencoba. Amin.
Ass, Bapak Ibu, karena belum keluangan waktu maka saya tambah sedikit dulu referensi yang mendukung sisntesis judul ini dengan jawaban saya kepada Pak Fauzi rakhman sebagai berikut: "Ass untuk Pak Fauzi Rakhman dan juga untuk yang lainnya, Nyanyian Burung itu memang Sifat dan Karakter Dunia Pagi. Tetapi aku menemukan bahwa ternyata Kicauan Burung itu bisa sekonyong-konyong berhenti dikarenakan ulah Infinite Regress". Renungkanlah
Saya tambahkan, ternyata pada kesempatan lain kembali saya menemukan peristiwa mengenaskan karena ada Seekor Burung telah mati diterkam dan dimakan oleh Infinite Regress. Yah Pagi Hari itu tetap jalan terus walaupun tiadalah Kicau Burung di sana. Renungkanlah
Saya tambahkan, ternyata Pagi Hari berikutnya, bukannya Kicauan Burung yang aku dengar melainkan suara Derik Infinite Regress. Renungkanlah
Anehnya, di Pagi Hari yang lain saya menemukan Infinite Regress sedang memberi makan Burung-burung sehingga kemudian Burung-burung itu dapat Berkicau dengan Merdunya. Berikut saya nukilkan aktivitas Infinite Regres. Ibu Istining Ariwandini berkata "....tapi lagi-lagikita sering dihadapkan dengan Sarana dan Prasara yang kurang memadai dalam proses pembelajaran"
Kemudian Infinit Regress mengatakan " Menurut Nara Sumber Dunia Pendidikan Pagi Inovatif....sebenar-benar Hakekat Sarana dan Prasarana adalah KREATIVITAS GURU". Renungkanlah.
Pagi berikutnya saya terkejut menyaksikan ada seorang Guru mengiba-iba di depan Infinite Regress seraya berkata "Oh Infinite Regress, engkau Kuda Sembraniku, bolehkah aku naik ke atas punggungmu agar aku bisa mengikuti jejakmu menembus Ruang dan Waktu?"
Kemudian aku mendengar jawaban Infinite Regress "Silahkan tetapi aku tidak bisa menanggung atas segala akibat yang ditimbulkannya. Janganlah aku engkau jadikan Si Tertuduh jika engkau menerima akibat dari mengikuti jejak dan naik di punggungku"
Pertanyaan saya kemudian adalah Bagaimana Bapak/Ibu mendeskripsikan, Binatang macam apakah Infinite Regress itu?
Selamat mencoba. Amin
Forum Tanya Jawab 64 : Burung di Pagi Hari, Jengkerik di Sore Hari
Ass, alhamdulillah...saya merasa terharu karena baru saya postingkan Judulnya, tetapi sudah mendapat tanggapan yang bersemangat dengan 7 (tujuh) komen. Semoga selalu tetap terjaga semangat. Amin.
Yang terjadi dengan awal posting ini adalah ketika saya membaca komen-komen Bapak/Ibu berkaitan Incommensurability dan Siswa Menentukan Kurikulum, saya menangkap ada nuansa kebingungan atau kepanikan (dalam tanda petik) dari para Guru, dikarenakan adanya kesadaran ontologis akan makna Dunia Lain dari Pendidikan yang saya Kenalkan dari Konteks Inggris. Jadi saya sedang melihat adanya gerakan sintesis dari Tesis Dunia Sore Hari (mungkin, Pendidikan Tradisional Indonesia) terhadap Anti-tesis Dunia Pagi Hari (mungkin contohnya, Pendidikan Progressif Inggris). Dunia masing-masing dengan konteksnya itulah yang kemudian ingin saya tulis dan saya beri judul sebagai "Burung di Pagi Hari, Jengkerik di Sore Hari". Jika diperhalus maka judulnya menjadi "Kicauan Burung di Pagi Hari dan Engkerikan Jengkerik di Sore Hari". Judul yang setara dapat dibuat misalnya "Embun di Pagi Hari dan Hujan di Sore Hari". Agar tidak lupa menulisnya maka saya tuliskan judulnya dulu, kemudian akan saya lanjutkan jika sudah sampai waktunya.
Berikut sintesisnya:
Pagi dan Sore adalah Dunianya masing-masing lengkap dengan strukturnya, kontennya, aturannya, sifat-sifatnya. Bahwa Kicauan Burung itu dilazimkan terjadi di Dunianya Pagi hari, sedangkan Engkerikan Jengkerik dilazimkanterjadi pada Dunianya Sore hari. Bahwa Embun di lazimkan jatuh di Pagi Hari, sedangkan Hujan dilazimkan di sore hari. Itu semua adalah kewajaran dan hukumnya Sunatullah. Maka orang Jawa mengenal istilah "Ngebun-ngebun Enjang, jejawah Sonten" artinya adalah Lumrah bahwa Embun itu di Pagi hari dan Hujan di Sore hari, untuk melazimkan bahwa Meminang seorang Gadis itu juga merupakan suatu kelaziman, yang tidak perlu diper Herankan. Kemana arah pembicaraan saya?
Pagi Hari dan Sore Hari masing-masing adalah Dua Dunia dengan segala sifatnya dan kodratnya. Dia mempunyai Persoalannya masing-masing; dia mempunyai PERTANYAANNYA masing-masing. Jika kita kiaskan Dunia Pendidikan Tradisional Kita sebagai Dunia Sore, maka akan dijumpai segala Persoalan dan Pertanyaan dari para Penghuninya yang BERBEDA dengan segala Persoalan dan Pertanyaan dari para Penghuninya Dunia Progressif Inggris di Pagi Hari. Terkadang dijumpai bahwa Persoalan dan Pertanyaan tidak mampu melampaui Dunianya karena Kodratnya. Mereka terikat oleh Paradigmanya masing-masing; sedangkan Filsafat berupaya untuk melepas belenggunya.
Persoalan dan Pertanyaan dari Kita Guru-guru penghuni Dunia Sore Pendidikan Tradisional tidak mampu keluar dari pertanyaan: Bagaimana mengajar dengan baik?; Bagaimana menyampaikan materi dengan baik?, Bagaimana memberi bekal sebanyak-benyaknya?; Bagaimana menyelesaikan kurikulum?; Bagaimana membuat siswa merasa senang belajar?; Bagaimana mencapai kelulusan maksimal?; Bagaimana memotivasi siswa?; Bagimana memberi Appersepsi?; Bagaimana mengaktifkan siswa; Bagaimana menjelaskan materi dengan baik? Bagaimana mengajarkan materi yang sama, untuk siswa yang berbeda, dengan waktu yang sama, agar diperoleh hasil yang sama? Bagaimana agar siswa tertib mengikuti pelajaran?.....Maka semua Persoalan dan Pertanyaan yang muncul selalu berkaitan dengan Paradigma Dunia Sore Pendidikan Tradisional, yang secara Laten dan Immanent selalu ada sebagai Ruh dan Jiwanya Dunia Sore. Paradigma itu meliputi: Transfer of knowledge; Transfer of learning; Murid sebagai Empty Vessel; External Evaluation (UN); Test Objective; External Motivation; Homogenous (Penyeragaman); Pendidikan adalah Investasi; Ilmu sebagai Struktur; Content Based Curriculum; Separated BasedCurriculum; Pendidikan bersifat tertutup..dst.
Persoalan dan Pertanyaan Guru-guru Penghuni Dunia Pagi Pendidikan Innovatif berakar dan membudaya meliputi: Bagaimana melayani kebutuhan siswa belajar?; Bagaimana mengembangkan LKS?; Bagaimana mengetahui Perbedaan Kemampuan siswa? Bagaimana menindaklanjuti keinginan siswa? Bagaimana memfasilitas agar pada waktu yang berbeda, siswa yang berbeda, dapat mempelajari matematika atai sain yang berbeda, dengan hasil yang tentunya okelah berbeda; Bagaimana mengembangkan assessment?; Bagaimana mengembangkan Portfolio siswa?; Bagaimana mengembangkan Variasi Media, Variasi Metoda, Variasi interaksi; Bagaimana mengembangkan metode diskusi....Maka semua Persoalan dan Pertanyaan yang muncul selalu berkaitan dengan Paradigma Dunia Pagi Pendidikan Inovatif yang secara Laten dan Immanent memang menjadi ciri khasnya Dunia Pagi.
Dengan susah payah saya berusaha menggambarkan bagaimana Sulitnya dan Pengorbanan memasuki dan berusaha beradaptasi dengan Dunia Baru yaitu dari Dunia Sore Tradisional menuju Dunia Pagi Inovatif. Diperlukan kondisi Ekstrinsik yang sangat kuat dari dalam diri berupa Niat, Semangat, Sikap, Pengetahuan, Ketrempilan dan Pengalaman agar perjalanan Hijrah dari Dunia Sore Pendidikan Tradisional menuju Dunia Pagi Pendidikan Inovatif. Jikalaupun hal demikian sudah terpenuhi maka masih mengalami persoalan-persoalan dari Luar dirinya baik yang bersifat Ekstrinsik maupun Sistemik. Maka Hermenitika yaitu terjemahan dan diterjemahkan menjadi sangat penting agar seorang Guru dari Penghuni Sore Pendidikan Tradisional mampu Hijrah dengan kesopan santunan terhadap Ruang danWaktunya Dunia Pagi Pendidikan Inovatif. Jikalau kita telah berusaha memasuki Dunia Pagi Pendidikan Inovatif, maka kita menjumpai bahwa ternyata Nyanyian, Kicauan dan Serangga-serangga pun berbeda.
Itulah sekali lagi, betapa tidak mudah melakukan Inovasi Pendidikan. Secara filsafati aku menemukan bahwa Inovasi itu ternyata tidak lain tidak bukan adalah Diriku sendiri. Diriku itulah Dunia Pagi Pendidikan Inovatif. Jikalau di Pagi hari masih terdengar suara Jengkerik, maka gejala aneh apa yang sedang aku alami. Jika di sore hari turunlah Embun, maka gejala aneh apa lagi pula yang sedang aku alami. Sadar, sopan, dan santun terhadap Ruang dan Waktunya Dunia Pagi Pendidikan Inovatif sangat perlu tetapi ternyata belum cukup. Keterampilan dan pengalaman sangat perlu tetapi ternyata belum cukup. Diperlukan diri, orang lain, ekstrinsik dan sistemik, yang merupakan kesadaran bersama dan gerakan tindakan bersama untuk sampai kesana. Aku tidak bisa membayangkan jika diriku tidak menyadarinya; maka semua yang berasal dari luar diriku akan terasa sebagai beban bahkan bencana bagiku. Aku menjadi ragu-ragu apakah aku perlu bertanya perlukah aku atau bisakah aku mencegah diriku berpindah atau hijrah dari Sore menuju Pagi? Kadang-kadang aku juga bingung saat ini masih Sore atau sudah Pagi? Suara apakah itu? Apakah itu suara Jengkerik? ataukah suara Burung? Aku agak sulit membedakan karena sumber suaranya terlalu jauh dan lemah. Tetapi suara yang dekat ini walaupun keras, tetapi polanya tidak karuan, sehingga akupun sulit membedakan apakah suara Jengkerik atau suara Burung. Aku heran temanku itu, kenapa dengan lihainya bisa menirukan Kicauan Burung Cocak Rawa di Pagi hari? Walaupun demikian, bagaimanapun akau masih tetap bersyukur, karena setidaknya aku mulai bisa membedakan bahwa saatnya kini sudah mendekati Waktu Pagi. Ah..aku jadi agak malu jika ketahuan temanku, jika aku tidak mampu membedakan Sore dan Pagi bukankah itu metaforanya aku tidak mempu membedakan Tradisional dan Inovatif?
Di tengah kegalauan pikirku, muncul terang Filsafatku yang menuntun diriku yang mengatakan bahwa "bukankah perpindahan Sore menuju Pagi itu juga sebuah Kelaziman yaitu Sunatullah?" Oh kalau begitu aku telah menemukan kembali simpanan Filsafatku bahwa untuk Hijrah dari Dunia Sore Pendidikan Tradisional menuju Dunia Pagi Pendidikan Inovatif, aku harus mengembangkan sopan santunku terhadap Ruang dan Waktunya. Di Pagi Hari nanti seakan aku tidak sabar ingin Berkicau layaknya Burung Cocak Rawa. Kicauanku akan aku selaraskan dengan Hakekat dan Sifat-sifat Dunianya Pagi. Itulah ikhtiarku. Itulah juga ketetapanku. Aku ingin mempelajari lebih lanjut Fenomena Incommensurability dan Fenomena Siswa Menentukan Kurikulum yang diberikan contoh oleh Dosenku. Aku tidak ingin hanya mengetahui, tetapi aku ingin menghayati dan mengimplementasikan, karena aku juga telah menemukan Ontologisnya bahwa Perbedaan Individu itu ternyata juga Sunatullah.
Di dalam jatuh bangunnya perjalananku ini, untuk mengisi sisa hidupku ini, agar konon mampu menjadi seorang Guru yang Inovatif, ternyata aku menemukan fakta baru lagi, karena semua yang baru aku ungkapkan itu hanyalah sebagian kecil dari aspek Hidupku, sedangkan dalam dan di luarnya, ini dan selebihnya ternyata aku harus memohon Pertolongan dan Memanjatkan Doa ke Hadlirat Allah SWT semoga apa yang aku sadari, aku cita-citakan di Ridai dan dikabulkan.
Amin.
Yang terjadi dengan awal posting ini adalah ketika saya membaca komen-komen Bapak/Ibu berkaitan Incommensurability dan Siswa Menentukan Kurikulum, saya menangkap ada nuansa kebingungan atau kepanikan (dalam tanda petik) dari para Guru, dikarenakan adanya kesadaran ontologis akan makna Dunia Lain dari Pendidikan yang saya Kenalkan dari Konteks Inggris. Jadi saya sedang melihat adanya gerakan sintesis dari Tesis Dunia Sore Hari (mungkin, Pendidikan Tradisional Indonesia) terhadap Anti-tesis Dunia Pagi Hari (mungkin contohnya, Pendidikan Progressif Inggris). Dunia masing-masing dengan konteksnya itulah yang kemudian ingin saya tulis dan saya beri judul sebagai "Burung di Pagi Hari, Jengkerik di Sore Hari". Jika diperhalus maka judulnya menjadi "Kicauan Burung di Pagi Hari dan Engkerikan Jengkerik di Sore Hari". Judul yang setara dapat dibuat misalnya "Embun di Pagi Hari dan Hujan di Sore Hari". Agar tidak lupa menulisnya maka saya tuliskan judulnya dulu, kemudian akan saya lanjutkan jika sudah sampai waktunya.
Berikut sintesisnya:
Pagi dan Sore adalah Dunianya masing-masing lengkap dengan strukturnya, kontennya, aturannya, sifat-sifatnya. Bahwa Kicauan Burung itu dilazimkan terjadi di Dunianya Pagi hari, sedangkan Engkerikan Jengkerik dilazimkanterjadi pada Dunianya Sore hari. Bahwa Embun di lazimkan jatuh di Pagi Hari, sedangkan Hujan dilazimkan di sore hari. Itu semua adalah kewajaran dan hukumnya Sunatullah. Maka orang Jawa mengenal istilah "Ngebun-ngebun Enjang, jejawah Sonten" artinya adalah Lumrah bahwa Embun itu di Pagi hari dan Hujan di Sore hari, untuk melazimkan bahwa Meminang seorang Gadis itu juga merupakan suatu kelaziman, yang tidak perlu diper Herankan. Kemana arah pembicaraan saya?
Pagi Hari dan Sore Hari masing-masing adalah Dua Dunia dengan segala sifatnya dan kodratnya. Dia mempunyai Persoalannya masing-masing; dia mempunyai PERTANYAANNYA masing-masing. Jika kita kiaskan Dunia Pendidikan Tradisional Kita sebagai Dunia Sore, maka akan dijumpai segala Persoalan dan Pertanyaan dari para Penghuninya yang BERBEDA dengan segala Persoalan dan Pertanyaan dari para Penghuninya Dunia Progressif Inggris di Pagi Hari. Terkadang dijumpai bahwa Persoalan dan Pertanyaan tidak mampu melampaui Dunianya karena Kodratnya. Mereka terikat oleh Paradigmanya masing-masing; sedangkan Filsafat berupaya untuk melepas belenggunya.
Persoalan dan Pertanyaan dari Kita Guru-guru penghuni Dunia Sore Pendidikan Tradisional tidak mampu keluar dari pertanyaan: Bagaimana mengajar dengan baik?; Bagaimana menyampaikan materi dengan baik?, Bagaimana memberi bekal sebanyak-benyaknya?; Bagaimana menyelesaikan kurikulum?; Bagaimana membuat siswa merasa senang belajar?; Bagaimana mencapai kelulusan maksimal?; Bagaimana memotivasi siswa?; Bagimana memberi Appersepsi?; Bagaimana mengaktifkan siswa; Bagaimana menjelaskan materi dengan baik? Bagaimana mengajarkan materi yang sama, untuk siswa yang berbeda, dengan waktu yang sama, agar diperoleh hasil yang sama? Bagaimana agar siswa tertib mengikuti pelajaran?.....Maka semua Persoalan dan Pertanyaan yang muncul selalu berkaitan dengan Paradigma Dunia Sore Pendidikan Tradisional, yang secara Laten dan Immanent selalu ada sebagai Ruh dan Jiwanya Dunia Sore. Paradigma itu meliputi: Transfer of knowledge; Transfer of learning; Murid sebagai Empty Vessel; External Evaluation (UN); Test Objective; External Motivation; Homogenous (Penyeragaman); Pendidikan adalah Investasi; Ilmu sebagai Struktur; Content Based Curriculum; Separated BasedCurriculum; Pendidikan bersifat tertutup..dst.
Persoalan dan Pertanyaan Guru-guru Penghuni Dunia Pagi Pendidikan Innovatif berakar dan membudaya meliputi: Bagaimana melayani kebutuhan siswa belajar?; Bagaimana mengembangkan LKS?; Bagaimana mengetahui Perbedaan Kemampuan siswa? Bagaimana menindaklanjuti keinginan siswa? Bagaimana memfasilitas agar pada waktu yang berbeda, siswa yang berbeda, dapat mempelajari matematika atai sain yang berbeda, dengan hasil yang tentunya okelah berbeda; Bagaimana mengembangkan assessment?; Bagaimana mengembangkan Portfolio siswa?; Bagaimana mengembangkan Variasi Media, Variasi Metoda, Variasi interaksi; Bagaimana mengembangkan metode diskusi....Maka semua Persoalan dan Pertanyaan yang muncul selalu berkaitan dengan Paradigma Dunia Pagi Pendidikan Inovatif yang secara Laten dan Immanent memang menjadi ciri khasnya Dunia Pagi.
Dengan susah payah saya berusaha menggambarkan bagaimana Sulitnya dan Pengorbanan memasuki dan berusaha beradaptasi dengan Dunia Baru yaitu dari Dunia Sore Tradisional menuju Dunia Pagi Inovatif. Diperlukan kondisi Ekstrinsik yang sangat kuat dari dalam diri berupa Niat, Semangat, Sikap, Pengetahuan, Ketrempilan dan Pengalaman agar perjalanan Hijrah dari Dunia Sore Pendidikan Tradisional menuju Dunia Pagi Pendidikan Inovatif. Jikalaupun hal demikian sudah terpenuhi maka masih mengalami persoalan-persoalan dari Luar dirinya baik yang bersifat Ekstrinsik maupun Sistemik. Maka Hermenitika yaitu terjemahan dan diterjemahkan menjadi sangat penting agar seorang Guru dari Penghuni Sore Pendidikan Tradisional mampu Hijrah dengan kesopan santunan terhadap Ruang danWaktunya Dunia Pagi Pendidikan Inovatif. Jikalau kita telah berusaha memasuki Dunia Pagi Pendidikan Inovatif, maka kita menjumpai bahwa ternyata Nyanyian, Kicauan dan Serangga-serangga pun berbeda.
Itulah sekali lagi, betapa tidak mudah melakukan Inovasi Pendidikan. Secara filsafati aku menemukan bahwa Inovasi itu ternyata tidak lain tidak bukan adalah Diriku sendiri. Diriku itulah Dunia Pagi Pendidikan Inovatif. Jikalau di Pagi hari masih terdengar suara Jengkerik, maka gejala aneh apa yang sedang aku alami. Jika di sore hari turunlah Embun, maka gejala aneh apa lagi pula yang sedang aku alami. Sadar, sopan, dan santun terhadap Ruang dan Waktunya Dunia Pagi Pendidikan Inovatif sangat perlu tetapi ternyata belum cukup. Keterampilan dan pengalaman sangat perlu tetapi ternyata belum cukup. Diperlukan diri, orang lain, ekstrinsik dan sistemik, yang merupakan kesadaran bersama dan gerakan tindakan bersama untuk sampai kesana. Aku tidak bisa membayangkan jika diriku tidak menyadarinya; maka semua yang berasal dari luar diriku akan terasa sebagai beban bahkan bencana bagiku. Aku menjadi ragu-ragu apakah aku perlu bertanya perlukah aku atau bisakah aku mencegah diriku berpindah atau hijrah dari Sore menuju Pagi? Kadang-kadang aku juga bingung saat ini masih Sore atau sudah Pagi? Suara apakah itu? Apakah itu suara Jengkerik? ataukah suara Burung? Aku agak sulit membedakan karena sumber suaranya terlalu jauh dan lemah. Tetapi suara yang dekat ini walaupun keras, tetapi polanya tidak karuan, sehingga akupun sulit membedakan apakah suara Jengkerik atau suara Burung. Aku heran temanku itu, kenapa dengan lihainya bisa menirukan Kicauan Burung Cocak Rawa di Pagi hari? Walaupun demikian, bagaimanapun akau masih tetap bersyukur, karena setidaknya aku mulai bisa membedakan bahwa saatnya kini sudah mendekati Waktu Pagi. Ah..aku jadi agak malu jika ketahuan temanku, jika aku tidak mampu membedakan Sore dan Pagi bukankah itu metaforanya aku tidak mempu membedakan Tradisional dan Inovatif?
Di tengah kegalauan pikirku, muncul terang Filsafatku yang menuntun diriku yang mengatakan bahwa "bukankah perpindahan Sore menuju Pagi itu juga sebuah Kelaziman yaitu Sunatullah?" Oh kalau begitu aku telah menemukan kembali simpanan Filsafatku bahwa untuk Hijrah dari Dunia Sore Pendidikan Tradisional menuju Dunia Pagi Pendidikan Inovatif, aku harus mengembangkan sopan santunku terhadap Ruang dan Waktunya. Di Pagi Hari nanti seakan aku tidak sabar ingin Berkicau layaknya Burung Cocak Rawa. Kicauanku akan aku selaraskan dengan Hakekat dan Sifat-sifat Dunianya Pagi. Itulah ikhtiarku. Itulah juga ketetapanku. Aku ingin mempelajari lebih lanjut Fenomena Incommensurability dan Fenomena Siswa Menentukan Kurikulum yang diberikan contoh oleh Dosenku. Aku tidak ingin hanya mengetahui, tetapi aku ingin menghayati dan mengimplementasikan, karena aku juga telah menemukan Ontologisnya bahwa Perbedaan Individu itu ternyata juga Sunatullah.
Di dalam jatuh bangunnya perjalananku ini, untuk mengisi sisa hidupku ini, agar konon mampu menjadi seorang Guru yang Inovatif, ternyata aku menemukan fakta baru lagi, karena semua yang baru aku ungkapkan itu hanyalah sebagian kecil dari aspek Hidupku, sedangkan dalam dan di luarnya, ini dan selebihnya ternyata aku harus memohon Pertolongan dan Memanjatkan Doa ke Hadlirat Allah SWT semoga apa yang aku sadari, aku cita-citakan di Ridai dan dikabulkan.
Amin.
Forum Tanya Jawab 63: Bagaimana Siswa Bisa Menentukan Kurikulum?
Oleh Marsigit
Ass, bagaimana mungkin seorang siswa ikut menentukan Kurikulum? Ah suatu pertanyaan atau ide yang mengada-ada. Apakah ada seorang siswa yang mempunyai kemampuan membuat Kurikulum? Jika toh ada, apakah boleh? Dan bagaimana cara atau skemanya?
Saya ingin mengatakan bahwa kalimat "Siswa Menentukan Kurikulum" memang kalimat yang agak provokatif yang saya buat. Tetapi saya ingin menunjukkan bahwa dengan penyesuaian persepsi dan konteks tantang hakekat Kurikulum serta hakekat pembelajaran, maka substansi kalimat tersebut bukanlah sesuatu yang mengada-ada.
Marilah kita coba
Pertama, kita bongkar dulu persepsi dan pemahaman kita tentang apa itu yang disebut Kurikulum. Budaya dan kebiasaan kita bangsa Indonesia selama ini, memaknai Kurikulum sebagai suatu garis besar rencana implementasi pendidikan yang disusun oleh Pemerintah melalui para pakarnya. Barulah setelah sempurna, Kurikulum yang dihasilkan siap diimplementasikan dengan dukungan Peraturan Perundang-undangan. Itulah kebiasaan kita selama berpuluh-puluh tahun sejak jaman Belanda.
Hasil observasi dan wawancara terhadap beberapa Guru di Inggris beberapa tahun yang lalu menunjukkan bahwa mereka mempunyai persepsi dan pemahaman yang berbeda dengan kita. Bagi mereka pengertian dan makna Kurikulum hampir menyerupai RPP atau Kurikulum tingkat sekolah. Pada saat itu memang di Inggris menganut sistem desentralisasi pendidikan, yaitu bahwa Kurikulum itu adalah urusan sekolah masing-masing.
Karena memang saya membaca ada wacana bahwa siswa juga berperan dalam Kurikulum, saya kemudian mencari tahu di suatu sekolah SD di tenggara kota London. Guru kelas 2 (dua) yang mengajar matematika saya wawancara dan mengatakan bahwa siswa berperan dalam pengembangan kurikulum. Saya ingin tahu bagaimana bisa siswa berperan dalam pengembangan kurikulum? Ternyata hal itu sangat dimungkinkan karena Kurikulum yang mereka maknai adalah Kurikulum tingkat sekolah dan tingkat pembelajaran di kelas. Pada tingkat sekolah, sebelum dilakukan pengembangan kurikulum, maka ada pertemuan khusus atau semacam need assessment dengan para siswa, didukung dengan dokumen portfolio tentang aktivitas siswa. Hasil-hasil need assessment yang menggambarkan kebutuhan siswa kemudian digunakan untuk pengembangan kurikulum tingkat sekolah.
Kemudian saya berusaha memperdalam lagi, apakah ada aspek yang lain bagaimana siswa ikut menentukan kurikulum? Jawaban guru dan fakta yang saya temukan ternyata cukup sederhana tetapi diluar yang saya pikirkan. Kata guru "Setiap akhir pelajaran matematika, saya selalu mewawancarai para siswa untuk mengetahui Jenis Kegiatan apa saja yang mereka inginkan dari Pelajaran Matematika minggu depan yang akan saya selenggarakan. Jawaban siswa tentu beraneka ragam, maka saya mengelompokkannya kedalam kriteria yang mungkin saya persiapkan agar bisa saya laksanakan apa yang diminta oleh siswa"
Saya melanjutkan pertanyaan "Bagaimana mungkin anda bisa melaksanakan berbagai permintaan atau tuntutan siswa dalam pbm matematika?". Serta merta guru meminta saya agar minggu depan datang lagi ke sekolah untuk melihat bagaimana guru mampu melayani berbagai kebutuhan belajar para siswanya.
Hasil observasi saya minggu berikutnya, pada Kelas II, adalah sebagai berikut:
Pertama, guru secara klasikal menjelaskan tentang kompetensi apa saja yang akan siswa peroleh dalam pbm, kemudian guru memberi petunjuk bagaimana nantinya para siswa bekerja secara kelompok.
Kedua, darisejumlah 32 siswa yang ada, kemudian guru membagi kelas menjadi 2 Kelompok Besar, masing-masing terdiri dari 16 siswa. Dari 16 siswa kelompok kedua di bagi menjadi 4 kelompok. Satu dari empat kelompok di split lagi menjadi 2 kelompokmasing-masing berangotakan 2 siswa. Jadi secara keseluruhan terdapat 6 (enam) Kelompok. Kelompok Besar terdiri dari 16 siswa. Tiga Kelompok berangotakan 4 (empat) siswa. Dan Dua Kelompok beranggotakan masing-masing 2 siswa.
Ketiga, setelah saya cermati, ternyata yang terjadi adalah Satu kelompok pertama terdiri dari 2 (dua) siswa yang prestasinya the Best. Satu kelompok kedua terdiri dari 2 (dua) siswa yang prestasinya the Lowest. Tiga Kelompok masing-masing terdiri dari 4 (empat) siswa denganprestasi rata-rata. Sedangkan satu Kelompok Besar yang terdiri dari 16 siswa dengan kemampuan campuran.
Keempat, di tiap meja pada Kelompok Kecil terdiri dari 4 siswa atau 2 siswa, masing-masing sudah diletakan LKS yang berbeda dengan Warna Kertas yang berbeda. Dan mereka mulai berdiskusi di dalam kelompoknya. Sementara itu Guru bergabung dengan Kelompok Besar (16 siswa) untuk memulai aktivitasnya.
Kelima, pada Kelompok Besar (16 siswa) suasana belajar di setting dengan Duduk Melingkar di Lantai, kemudian dituangkan dari dalam Keranjang barbagai macam Bangun Datar Geometri terbuat dari kayu, bermacam-macam Segitiga, Persegi, Persegi Panjang, Lingkaran, Trapesium. Dengan variasi bermacam warna yang kontras.
Keenam, ternyata Kompetensi yang ingin dicapai pada masing-masing Kelompok berbeda-beda. Pada Kelompok besar kompetensinya adalah Pengenalan Bangun Geometri. Kelompok the Best kompetensi dan LKS nya berbeda dengan Kelompok the Lowest. Demikian sehingga pada saat yang sama guru menyediakan 5 (lima) macam LKS.
Ketujuh, ketika Guru sedang asyik beraktivitas di Kelompok Besar, datanglah seorang siswa dari Kelompok the Best melaporkan bahwa dia telah menyelesaikan LKS nya. Guru kemudian menyuruh untuk melanjutkan berdiskusi dan mengerjakan LKS yang lainnya (lanjutannya) yang khusus diperuntukan untuk Kelompok the Best,dengan warna Kertas yang sama tadi.
Kedelapan, Ternyata guru juga menyediakan stok/persediaan LKS untuk tiap-tiap Kelompok Diskusi.
Pada Kelompok Besar, guru memulai membuat contoh aktivitas dengan kalimat "I spy the Red Small Circle". Artinya "Saya ingin mengambil Lingkaran Kecil berwarna Merah". Kemudian guru mengambilnya, kemudian menunjukkan kepada para siswa, dan menyuruhnya untuk mengamati bangun Lingkaran itu. Kemudian Guru melemparkan kembali benda itu ketumpukan di tengah kerumunan. Demikian seterusnya guru menyuruh secara bergantian agar siswa-siswa melakukan kegiatan yang sama, dengan cara siswa yang sudah melakukan kegiatan kemudian menunjuk siswa yang lain secara acak, sampai selesai.
Setelah kembali ke University of London, saya konsultasikan dan tanyakan kepada Pembimbing, mengapa guru bisa melakukan hal demikian, maka jawabnya adalah "Pbm matematika di sini, menganut paradigma : pada waktu yang berbeda, berbeda-beda siswa, mempelajari matematika yang berbeda, dengan kecepatan dan kemampuan yang berbeda, dengan hasil yang boleh berbeda pula". Saya lanjutkan pertanyaan saya "Lalu bagaimana mengorganisasikannya".Jawaban Pembimbing "Itulah pentingnya LKS dan Portfolio". LKS sangat penting untuk melayani kebutuhan siswa yang berbeda-beda. Sedangkan setiap siswa perlu dilengkapi dengan Dokumen yang disebut Portfolio Siswa atau Record Keeping. Record Keeping Siswa berisi segala Dokumen yang berkaitan dengan Aktivitas dan Prestasi Siswa mengalir dari tahun ke tahun.
Setelah kembali ke Indonesia, saya menemukan bahwa Pembelajaran Matematika di Indonesia bersifat "Untuk waktu yang sama, berbeda-beda siswa, dituntut mempelajari matematika yang sama, dengan hasil yang harus sama, yaitu sama dengan yang dipikirkan oleh gurunya"
Demikianlah refleksi pengalaman saya di Inggris beberapa tahun yang lalu.
Semoga bermanfaat,dan ditunggu komen-komennya.
Amin
Ass, bagaimana mungkin seorang siswa ikut menentukan Kurikulum? Ah suatu pertanyaan atau ide yang mengada-ada. Apakah ada seorang siswa yang mempunyai kemampuan membuat Kurikulum? Jika toh ada, apakah boleh? Dan bagaimana cara atau skemanya?
Saya ingin mengatakan bahwa kalimat "Siswa Menentukan Kurikulum" memang kalimat yang agak provokatif yang saya buat. Tetapi saya ingin menunjukkan bahwa dengan penyesuaian persepsi dan konteks tantang hakekat Kurikulum serta hakekat pembelajaran, maka substansi kalimat tersebut bukanlah sesuatu yang mengada-ada.
Marilah kita coba
Pertama, kita bongkar dulu persepsi dan pemahaman kita tentang apa itu yang disebut Kurikulum. Budaya dan kebiasaan kita bangsa Indonesia selama ini, memaknai Kurikulum sebagai suatu garis besar rencana implementasi pendidikan yang disusun oleh Pemerintah melalui para pakarnya. Barulah setelah sempurna, Kurikulum yang dihasilkan siap diimplementasikan dengan dukungan Peraturan Perundang-undangan. Itulah kebiasaan kita selama berpuluh-puluh tahun sejak jaman Belanda.
Hasil observasi dan wawancara terhadap beberapa Guru di Inggris beberapa tahun yang lalu menunjukkan bahwa mereka mempunyai persepsi dan pemahaman yang berbeda dengan kita. Bagi mereka pengertian dan makna Kurikulum hampir menyerupai RPP atau Kurikulum tingkat sekolah. Pada saat itu memang di Inggris menganut sistem desentralisasi pendidikan, yaitu bahwa Kurikulum itu adalah urusan sekolah masing-masing.
Karena memang saya membaca ada wacana bahwa siswa juga berperan dalam Kurikulum, saya kemudian mencari tahu di suatu sekolah SD di tenggara kota London. Guru kelas 2 (dua) yang mengajar matematika saya wawancara dan mengatakan bahwa siswa berperan dalam pengembangan kurikulum. Saya ingin tahu bagaimana bisa siswa berperan dalam pengembangan kurikulum? Ternyata hal itu sangat dimungkinkan karena Kurikulum yang mereka maknai adalah Kurikulum tingkat sekolah dan tingkat pembelajaran di kelas. Pada tingkat sekolah, sebelum dilakukan pengembangan kurikulum, maka ada pertemuan khusus atau semacam need assessment dengan para siswa, didukung dengan dokumen portfolio tentang aktivitas siswa. Hasil-hasil need assessment yang menggambarkan kebutuhan siswa kemudian digunakan untuk pengembangan kurikulum tingkat sekolah.
Kemudian saya berusaha memperdalam lagi, apakah ada aspek yang lain bagaimana siswa ikut menentukan kurikulum? Jawaban guru dan fakta yang saya temukan ternyata cukup sederhana tetapi diluar yang saya pikirkan. Kata guru "Setiap akhir pelajaran matematika, saya selalu mewawancarai para siswa untuk mengetahui Jenis Kegiatan apa saja yang mereka inginkan dari Pelajaran Matematika minggu depan yang akan saya selenggarakan. Jawaban siswa tentu beraneka ragam, maka saya mengelompokkannya kedalam kriteria yang mungkin saya persiapkan agar bisa saya laksanakan apa yang diminta oleh siswa"
Saya melanjutkan pertanyaan "Bagaimana mungkin anda bisa melaksanakan berbagai permintaan atau tuntutan siswa dalam pbm matematika?". Serta merta guru meminta saya agar minggu depan datang lagi ke sekolah untuk melihat bagaimana guru mampu melayani berbagai kebutuhan belajar para siswanya.
Hasil observasi saya minggu berikutnya, pada Kelas II, adalah sebagai berikut:
Pertama, guru secara klasikal menjelaskan tentang kompetensi apa saja yang akan siswa peroleh dalam pbm, kemudian guru memberi petunjuk bagaimana nantinya para siswa bekerja secara kelompok.
Kedua, darisejumlah 32 siswa yang ada, kemudian guru membagi kelas menjadi 2 Kelompok Besar, masing-masing terdiri dari 16 siswa. Dari 16 siswa kelompok kedua di bagi menjadi 4 kelompok. Satu dari empat kelompok di split lagi menjadi 2 kelompokmasing-masing berangotakan 2 siswa. Jadi secara keseluruhan terdapat 6 (enam) Kelompok. Kelompok Besar terdiri dari 16 siswa. Tiga Kelompok berangotakan 4 (empat) siswa. Dan Dua Kelompok beranggotakan masing-masing 2 siswa.
Ketiga, setelah saya cermati, ternyata yang terjadi adalah Satu kelompok pertama terdiri dari 2 (dua) siswa yang prestasinya the Best. Satu kelompok kedua terdiri dari 2 (dua) siswa yang prestasinya the Lowest. Tiga Kelompok masing-masing terdiri dari 4 (empat) siswa denganprestasi rata-rata. Sedangkan satu Kelompok Besar yang terdiri dari 16 siswa dengan kemampuan campuran.
Keempat, di tiap meja pada Kelompok Kecil terdiri dari 4 siswa atau 2 siswa, masing-masing sudah diletakan LKS yang berbeda dengan Warna Kertas yang berbeda. Dan mereka mulai berdiskusi di dalam kelompoknya. Sementara itu Guru bergabung dengan Kelompok Besar (16 siswa) untuk memulai aktivitasnya.
Kelima, pada Kelompok Besar (16 siswa) suasana belajar di setting dengan Duduk Melingkar di Lantai, kemudian dituangkan dari dalam Keranjang barbagai macam Bangun Datar Geometri terbuat dari kayu, bermacam-macam Segitiga, Persegi, Persegi Panjang, Lingkaran, Trapesium. Dengan variasi bermacam warna yang kontras.
Keenam, ternyata Kompetensi yang ingin dicapai pada masing-masing Kelompok berbeda-beda. Pada Kelompok besar kompetensinya adalah Pengenalan Bangun Geometri. Kelompok the Best kompetensi dan LKS nya berbeda dengan Kelompok the Lowest. Demikian sehingga pada saat yang sama guru menyediakan 5 (lima) macam LKS.
Ketujuh, ketika Guru sedang asyik beraktivitas di Kelompok Besar, datanglah seorang siswa dari Kelompok the Best melaporkan bahwa dia telah menyelesaikan LKS nya. Guru kemudian menyuruh untuk melanjutkan berdiskusi dan mengerjakan LKS yang lainnya (lanjutannya) yang khusus diperuntukan untuk Kelompok the Best,dengan warna Kertas yang sama tadi.
Kedelapan, Ternyata guru juga menyediakan stok/persediaan LKS untuk tiap-tiap Kelompok Diskusi.
Pada Kelompok Besar, guru memulai membuat contoh aktivitas dengan kalimat "I spy the Red Small Circle". Artinya "Saya ingin mengambil Lingkaran Kecil berwarna Merah". Kemudian guru mengambilnya, kemudian menunjukkan kepada para siswa, dan menyuruhnya untuk mengamati bangun Lingkaran itu. Kemudian Guru melemparkan kembali benda itu ketumpukan di tengah kerumunan. Demikian seterusnya guru menyuruh secara bergantian agar siswa-siswa melakukan kegiatan yang sama, dengan cara siswa yang sudah melakukan kegiatan kemudian menunjuk siswa yang lain secara acak, sampai selesai.
Setelah kembali ke University of London, saya konsultasikan dan tanyakan kepada Pembimbing, mengapa guru bisa melakukan hal demikian, maka jawabnya adalah "Pbm matematika di sini, menganut paradigma : pada waktu yang berbeda, berbeda-beda siswa, mempelajari matematika yang berbeda, dengan kecepatan dan kemampuan yang berbeda, dengan hasil yang boleh berbeda pula". Saya lanjutkan pertanyaan saya "Lalu bagaimana mengorganisasikannya".Jawaban Pembimbing "Itulah pentingnya LKS dan Portfolio". LKS sangat penting untuk melayani kebutuhan siswa yang berbeda-beda. Sedangkan setiap siswa perlu dilengkapi dengan Dokumen yang disebut Portfolio Siswa atau Record Keeping. Record Keeping Siswa berisi segala Dokumen yang berkaitan dengan Aktivitas dan Prestasi Siswa mengalir dari tahun ke tahun.
Setelah kembali ke Indonesia, saya menemukan bahwa Pembelajaran Matematika di Indonesia bersifat "Untuk waktu yang sama, berbeda-beda siswa, dituntut mempelajari matematika yang sama, dengan hasil yang harus sama, yaitu sama dengan yang dipikirkan oleh gurunya"
Demikianlah refleksi pengalaman saya di Inggris beberapa tahun yang lalu.
Semoga bermanfaat,dan ditunggu komen-komennya.
Amin
Forum Tanya Jawab 62: Incommensurability
Oleh Marsigit
Saya sampaikan pengalaman pribadi sebagai berikut:
Langganan Internet unlimited di Indonesia kira-kira biayanya Rp 350.000,- per bulan. Jika seorang Dosen dengan Gaji sebesar Rp. 3.500.000,- per bulan, maka diperlukan sepersepuluh Gaji untuk biaya langganan Internet. Pengalaman saya di Thailand menggunakan jasa Internet dengan Roaming Internasional terkena biaya kira-kira Rp 3.500.000,- untuk penggunaan 5 (lima) jam. Artinya, Gaji 1 (satu) bulan seorang Dosen di Indonesia, hanya cukup untuk membayar 5 (lima) jam Internet International Roaming di Thailand. Jadi agar bisa hidup layak menggunakan Internet Roaming Internasional di Thailand selama 1 (bulan) dengan 5 (lima) jam nginternet, diperlukan biaya 30 x Rp 3.500.000,- = Rp 105.000.000,- (seratus lima juta rupiah). "Seratus lima juta rupiah" itulah angka kecukupan wajar (gaji perbulan mestinya), bagi seorang Dosen Indonesia jika dia ingin secara wajar bisa melakukan pergaulan Internasional. Itupun jika hanya diukur dari kebutuhan akses internet saja. Ditinjau dari sisi Ekonomi, maka secara kasar kemampuan Bangsa Indonesia hanyalah sepertigapuluh dari negaranya Sang Power Now. Betapa Mahal biaya yang diperlukan oleh orang Indonesi untuk pergi ke Luar Negeri; sebaliknya betapa Murah orang Luar Negeri jika ingin berkunjung ke Indonesia. Itulah salah satu Kendala betapa besar pengorbanan Bangsa Indonesia jika ingin bergaul secara SETARA dengan bangsa-bangsa lain. Tetapi ternyata yang terjadi, lebih banyak dan memang demikianlah, yaitu kita hanya mampu bergaul secara Tidak Setara Secara Ekonomi dengan Bangsa lain. Contoh Pergaulan yang Tidak Setara adalah Kita menjadi TKW atau TKI di negara-negara lain. Suka duka menjadi Bangsa TKW atau TKI tentu dapat dibaca atau diikuti setiap hari di Media Masa. Oh nasib Diriku, oh nasib Bangsaku. Kenapa demikian?
Dalam Filsafat, kasus di atas itulah yang disebut sebagai Incommensurability, yaitu Dua Jenis Ukuran Dengan Skala yang Berbeda yang digunakan untuk mengukur Hal yang sama. Fenomena ini sudah muncul sejak Jaman Phytagoras. Jika Pythagoras tidak menggunakan Ukuran yang Incomensurabel maka tidak akan ditemukan bilangan Irrasional. Pada Segitiga Siku-siku, satuan yang digunakan untuk mengukur panjang sisi siku-siku adalah Bilangan Bulat. Tetapi Bilangan Bulat tidak mampu mengukur Panjang Sisi Miring karena ternyata dia adalah Bilangan Irrasional.
Kembali ke contoh kasus dimuka, dapat disimpulkan bahwa Incommensurability yang terjadi adalah bahwa Kompetensi secara ekonomi kita Tidak Sepadan dengan Kompetensi Ekonomi negara seperti Thailand. Tenaga dan Pikiran kita hanya senilai sepertigapuluh dari Tenaga dan Pikiran mereka.
Yang agak mengkhawatirkan adalah adanya kecenderungan mengukur segala sesuatu yang kita punya dengan ukuran negara luar. Yang sedang dan sudah terjadi adalah banyak sekolah/universitas yang membayar dengan Dollar agar memperoleh pengakuan Luar Negeri (International Standard). Ratusan juta rupiah bagi kita adalah angka yang sangat besar, tetapi adalah angka yang relatif kecil jika diukur dengan Dollar. Maka juga terdapat Incommensurability terhadap Beban yang ditanggung oleh sekolah atau masyarakat kita (untuk meraih ISO atau Certificate Internationa misalnya) dibanding dengan imbalan jasa bagi diberikannya ukuran Standard yang akan mereka berikan, jika kita meminta Rekomendasinya.
Bukanlah suatu kebetulah bahwa Pythagoras menggunakan Incomensurability untuk menemukan Bilangan Irrasional. Sedangkan saya menggunakannya juga Incommensurability untuk menemukan betapa Irrationalnya (tidak masuk akal)kompetensi kita dibanding Sang Power Now. Itulah keadaan yang mereka suka; sedangkan pedih dan getir dirasakan oleh Bangsa Kita (tentu bagi yang bisa dan mau merasakannya).
Jika kita ekstensikan makna dari Incommensurability ini, ternyata saya menemukan bahwa Pikiran-pikiran Guru itu juga Incommensurabel dengan Pikiran-pikiran siswa. Maka seorang Guru yang cenderung memaksakan kehendak Berpikirnya kepada Siswanya, telah menggunakan Incommensurability untuk memaksakan ukuran dirinya agar berlaku bagi muridnya. Hal demikian juga menimbulkan dampak yang Irrasional (tak masuk akal). Maka benar pengakuan Ibu Karina, bahwa sebenar-benar orang paling berbahaya adalah Diriku yang selalu memaksakan kehendak pikirnya. Itulah juga incommensurability.Itulah sebabnya mengapa pada Pembelajaran yang Inovatif, maka adalah sangat penting bagi Guru untuk mengetahui Pikiran dan Kemampuan tiap-tiap siswanya.
Dalam perkuliahan Filsafat Ilmu ini maka komunikasi saya dengan mahasiswa melalui Blog dapat diartikan sebagai salah satu usaha saya untuk mengetahui Pikiran-pikiran mahasiswa. Maka komentar-komentar mahasiswa menjadi sangat penting adanya.
Demikianlah, silahkan dinantikan pendapatnya. Semoga bermanfaat.
Amin.
Saya sampaikan pengalaman pribadi sebagai berikut:
Langganan Internet unlimited di Indonesia kira-kira biayanya Rp 350.000,- per bulan. Jika seorang Dosen dengan Gaji sebesar Rp. 3.500.000,- per bulan, maka diperlukan sepersepuluh Gaji untuk biaya langganan Internet. Pengalaman saya di Thailand menggunakan jasa Internet dengan Roaming Internasional terkena biaya kira-kira Rp 3.500.000,- untuk penggunaan 5 (lima) jam. Artinya, Gaji 1 (satu) bulan seorang Dosen di Indonesia, hanya cukup untuk membayar 5 (lima) jam Internet International Roaming di Thailand. Jadi agar bisa hidup layak menggunakan Internet Roaming Internasional di Thailand selama 1 (bulan) dengan 5 (lima) jam nginternet, diperlukan biaya 30 x Rp 3.500.000,- = Rp 105.000.000,- (seratus lima juta rupiah). "Seratus lima juta rupiah" itulah angka kecukupan wajar (gaji perbulan mestinya), bagi seorang Dosen Indonesia jika dia ingin secara wajar bisa melakukan pergaulan Internasional. Itupun jika hanya diukur dari kebutuhan akses internet saja. Ditinjau dari sisi Ekonomi, maka secara kasar kemampuan Bangsa Indonesia hanyalah sepertigapuluh dari negaranya Sang Power Now. Betapa Mahal biaya yang diperlukan oleh orang Indonesi untuk pergi ke Luar Negeri; sebaliknya betapa Murah orang Luar Negeri jika ingin berkunjung ke Indonesia. Itulah salah satu Kendala betapa besar pengorbanan Bangsa Indonesia jika ingin bergaul secara SETARA dengan bangsa-bangsa lain. Tetapi ternyata yang terjadi, lebih banyak dan memang demikianlah, yaitu kita hanya mampu bergaul secara Tidak Setara Secara Ekonomi dengan Bangsa lain. Contoh Pergaulan yang Tidak Setara adalah Kita menjadi TKW atau TKI di negara-negara lain. Suka duka menjadi Bangsa TKW atau TKI tentu dapat dibaca atau diikuti setiap hari di Media Masa. Oh nasib Diriku, oh nasib Bangsaku. Kenapa demikian?
Dalam Filsafat, kasus di atas itulah yang disebut sebagai Incommensurability, yaitu Dua Jenis Ukuran Dengan Skala yang Berbeda yang digunakan untuk mengukur Hal yang sama. Fenomena ini sudah muncul sejak Jaman Phytagoras. Jika Pythagoras tidak menggunakan Ukuran yang Incomensurabel maka tidak akan ditemukan bilangan Irrasional. Pada Segitiga Siku-siku, satuan yang digunakan untuk mengukur panjang sisi siku-siku adalah Bilangan Bulat. Tetapi Bilangan Bulat tidak mampu mengukur Panjang Sisi Miring karena ternyata dia adalah Bilangan Irrasional.
Kembali ke contoh kasus dimuka, dapat disimpulkan bahwa Incommensurability yang terjadi adalah bahwa Kompetensi secara ekonomi kita Tidak Sepadan dengan Kompetensi Ekonomi negara seperti Thailand. Tenaga dan Pikiran kita hanya senilai sepertigapuluh dari Tenaga dan Pikiran mereka.
Yang agak mengkhawatirkan adalah adanya kecenderungan mengukur segala sesuatu yang kita punya dengan ukuran negara luar. Yang sedang dan sudah terjadi adalah banyak sekolah/universitas yang membayar dengan Dollar agar memperoleh pengakuan Luar Negeri (International Standard). Ratusan juta rupiah bagi kita adalah angka yang sangat besar, tetapi adalah angka yang relatif kecil jika diukur dengan Dollar. Maka juga terdapat Incommensurability terhadap Beban yang ditanggung oleh sekolah atau masyarakat kita (untuk meraih ISO atau Certificate Internationa misalnya) dibanding dengan imbalan jasa bagi diberikannya ukuran Standard yang akan mereka berikan, jika kita meminta Rekomendasinya.
Bukanlah suatu kebetulah bahwa Pythagoras menggunakan Incomensurability untuk menemukan Bilangan Irrasional. Sedangkan saya menggunakannya juga Incommensurability untuk menemukan betapa Irrationalnya (tidak masuk akal)kompetensi kita dibanding Sang Power Now. Itulah keadaan yang mereka suka; sedangkan pedih dan getir dirasakan oleh Bangsa Kita (tentu bagi yang bisa dan mau merasakannya).
Jika kita ekstensikan makna dari Incommensurability ini, ternyata saya menemukan bahwa Pikiran-pikiran Guru itu juga Incommensurabel dengan Pikiran-pikiran siswa. Maka seorang Guru yang cenderung memaksakan kehendak Berpikirnya kepada Siswanya, telah menggunakan Incommensurability untuk memaksakan ukuran dirinya agar berlaku bagi muridnya. Hal demikian juga menimbulkan dampak yang Irrasional (tak masuk akal). Maka benar pengakuan Ibu Karina, bahwa sebenar-benar orang paling berbahaya adalah Diriku yang selalu memaksakan kehendak pikirnya. Itulah juga incommensurability.Itulah sebabnya mengapa pada Pembelajaran yang Inovatif, maka adalah sangat penting bagi Guru untuk mengetahui Pikiran dan Kemampuan tiap-tiap siswanya.
Dalam perkuliahan Filsafat Ilmu ini maka komunikasi saya dengan mahasiswa melalui Blog dapat diartikan sebagai salah satu usaha saya untuk mengetahui Pikiran-pikiran mahasiswa. Maka komentar-komentar mahasiswa menjadi sangat penting adanya.
Demikianlah, silahkan dinantikan pendapatnya. Semoga bermanfaat.
Amin.
Langganan:
Postingan (Atom)